Ulama dengan berbagai latar belakang yang kompleks semakin ke sini, semakin sulit ditemukan. Dalam catatan sebelumnya saya pernah menyinggung tentang potret ulama-aktivis (baca: Tiga Pelajaran Hidup Dari KH. Abdurrahman Latukau, Lc). Terminologi ini ditujukan untuk seseorang yang, selain berprofesi sebagai tokoh agama (ulama), dia juga aktif berorganisasi ; dimana ia terlibat dalam komunitas sosial dengan visi kolektif umat.
Salah satunya adalah Habib Muhsin Bin Abdullah Bilfaqih. Kami memanggilnya Abah. Beliau lahir di Bitung karena menyingkir dari gejolak Permesta di Minahasa. Awalnya keluarga beliau tinggal di Desa Tumbak Kabupaten Minahasa Tenggara. Tumbak adalah nama sebuah endemik yang hidup di pinggiran pantai. Konon desa Tumbak berasal dari nama tumbuhan ini.
Dulu, daerah ini sering disinggahi perompak asal Mindanao-Filipina, sampai saat dimana rombongan Syekh Abdussamad bachdar datang dari Gorontalo, tinggal-menetap dan berhasil menangkal para perompak (1910-an). Karena keberhasilan itu maka pemerintah setempat memberikan reward kepada rombongan itu untuk menetap disitu. Dari situlah cerita tentang negeri Tumbak eksis hingga sekarang.
Masa kanak-kanak beliau dihabiskan dengan menimba ilmu di Sekolah Dasar Kristen Tatengesan. Karena keterbatasan infrastruktur dan fasilitas sekolah, akhirnya ruang kelas sekolah ini harus menggunakan aula Gereja. Ada yang menarik dari cerita beliau saat itu.
Kala itu, sedang ada Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten. Beliau menjadi satu-satunya peserta muslim dari perwakilan SD Kristen. Tak disangka beliau memenangkan lomba tersebut, tapi kemudian hal itu dianggap mustahil. Pasalnya, SD Kristen Tatengesan di huni mayoritas siswa non-muslim. Kedua, bagaimana bisa seorang anak yang di didik dalam Gereja bisa belajar mengaji dengan baik.
Dua hal yang bisa di tarik dari pengalaman di atas. Pertama, sebagai salah satu siswa muslim yang sekolah di SD Kristen, menggambarkan bagaimana Habib Muhsin Bilfagih sejak kecil telah terbiasa hidup berdampingan dengan 'perbedaan'. Kedua, walaupun sekolah pada lingkungan dengan latar kebudayaan yang berbeda tapi beliau tidak kurang dalam pengetahuan agama islam.
Pada yang terakhir untuk mengetahui hal tersebut kita perlu melacak dari mana asal pengetahuan agama beliau.
Genealogi Pengetahuan Habib Muhsin Bilfaqih
Pengetahuan awal Habib Muhsin Bilfaqih tentang agama tidak bisa dipisahkan dari tiga nama. Pertama, Habib Abdullah Bilfaqih yang adalah ayahnya. Kedua, Syekh Abdussamad bachdar kakeknya, ketiga Siddiq Baba mertuanya. Setelah pulang sekolah formal, beliau ditempa ilmu islam secara komprehensif dirumah. Kultur keluarga membentuk Pendidikan agama beliau pertama kali.
Habib Muhsin belajar agama langsung dari Siddiq Baba dan Habib Abdullah Bilfaqih untuk penguatan Ilmu Fiqih. Habib Abdullah sendiri belajar dari ayah mantunya Syekh Abdussamad Bachdar. Selain belajar dasar-dasar ilmu agama, salah satu ilmu yang dipelajari beliau ialah Fenomenologi Alqur'an ; bagaimana ayat-ayat Alqur'an ditafsirkan huruf per huruf, kata per kata disesuaikan dengan korelasi setiap ayat serta konteks asbabul nuzulnya.
Kadangkala kita menemukan ayat yang tidak ada terjemahannya. Dalam islam disebut ayat yang bersifat muhkam dan muhtasyabihat : yang jelas dan yang samar-samar. Misalnya, ayat pertama surat Yasin. Jika ditelurusi dalam terjemahan Qur'an cetakan Kementerian Agama, artinya adalah 'hanya Allah yang tahu. Nah, lewat ilmu fenomenologi Alqur'an kita bisa memiliki penjelasan arti dari kata 'Ya Sin'.
Segala sesuatu yang diturunkan bisa dijelaskan. Ibarat sebuah jalan, ketika Tuhan menyerukan kita untuk mempelajari Qur'an pastilah Dia memberikan peta agar kita tidak tersesat. ungkapan tersebut semacam Rasion d'etredari Ilmu Fenomenologi Qur'an. Kira-kira ilmu ini berangkat dari logika seperti itu. Saya pernah mengikuti kelas belajar Fenomenologi Qur'an. Memang agak rumit, mungkin dibutuhkan beberapa tahun nyantri ke Habib Muhsin untuk bisa memahami pelajaran ini.
Selain itu, Syekh Abdussamad juga mengijazahkan berbagai pusaka kepada Habib Abdullah Bilfaqih, salah satunya sebuah Alqur'an turun termurun. Konon kitab itu ditulis tangan dan telah berumur ratusan tahun. Kini kitab itu diturunkan kepada Habib Muhsin Bilfaqih, olehnya Kitab itu lalu dibungkus dengan kain kiswah (Ka'bah). Pernah sekali waktu saya melihat kitab itu dipeluk erat beliau saat sedang duduk merenung di sudut aula majelis.
Beliau juga sempat mengikuti jenjang Pendidikan di perguruan tinggi sampai selesai dan mendapatkan gelar sarjana agama. Dalam spesifikasi ilmu agama, beliau mengambil Tassawuf sebagai pilihan, mungkin sedikit berbeda dengan ulama kebanyakan yang menjadikan Ilmu Fiqih sebagai spesifikasinya. Sehingga tak jarang dalam ceramah beliau selalu memandang setiap persoalan dari pendekatan tassawuf.
Setelah dewasa beliau beradu nasib di Kalimantan dengan modal usaha seadanya. Rintisan usaha yang dibangun cukup berkembang disana. Di Kalimantan beliau mulai membangun majelis taklim yang bernama Darul Hikam (cikal bakal Yayasan Alhikam Cinta Indonesia), dan berhasil memperlebar jejaring majelisnya hingga lintas negara. Mulai dari Sulawesi selatan, Sulwesi Utara, Malaysia sampai Brunei Darussalam.
Selain itu, beliau sempat menjadi anggota DPR Kota Tarakan dari Partai Kebangkitan Bangsa, sehingga tidak heran kenapa beliau cukup mengenal Gus Dur. Beliau juga sempat bergumul lama dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dengan pernah menjadi Mustasyar PWNU Sulawesi Utara periode 2014-2019. Inilah yang saya maksud dengan kompleksitas background ; pengusaha, membangun komunitas sosial-keagamaan sekaligus tokoh politik. Dalam diri seorang ulama terdapat empat jenis pengetahuan sekaligus ; agama, ekonomi, sosial-kebudayaan dan politik.
Dari Tarakan-Kalimantan beliau kembali ke Sulawesi Utara bersama keluarganya dan perkamil adalah pilihan tempat menetap. Pengalaman hidup berdampingan dengan 'perbedaan' sejak kecil ikut membentuk pemahaman beliau dalam memaknai kemajemukan Sulawesi Utara. Untuk selanjutnya bisa dilihat dari bagaimana beliau membangun majelis ilmu di Manado.
Yayasan Alhikam Cinta Indonesia dan Dinamika Kemajemukan
Sejauh yang saya tahu, rata-rata majelis taklim di Manado punya kecenderungan homogen. Maksudnya kurang terbuka dalam pelibatan komunitas yang berbeda. Kedua, seragam dalam tema dan pemikiran. Dialog hanya menjadi sarana formalitas, akan tetapi ide dan pemikirannya searah. Implikasinya adalah sejenis ekslusifitas total.
Kalaupun ada pelibatan komunitas yang berbeda, maka komunitas itu hanya akan menjadi 'sansak' hidup. Di hajar habis-habisan dengan berbagai argumen subyektif yang menyudutkan. Komunitas itu tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang benar dan apa yang salah menurut mereka.
Selai itu, majelis taklim di Manado punya kecenderungan hanyut bahkan ikut-ikutan mengafirmasi wacana pemerintah. Pernah di satu masa, awalan tahun 2013-2014, ketika Syiah menjadi isu besar pemerintah lewat Kementerian Agama, Syiah semacam menjadi tema sentral dimana hampir semua ceramah dalam majelis taklim turut membicarakannya, banyak pula yang 'menyudutkan' aliran ini.
Majelis taklim Alhikam pun sempat mendapatkan imbasnya karena kemajemukan berilmu yang coba dibangun. Hanya karena orang dari berbagai kelompok minoritas datang bertamu dan meminta saran, majelis ini pun dianggap bagian dari kelompok minoritas itu. Padahal ini murni silaturrahim. Dan bukankah melayani tamu dengan selayaknya adalah anjuran Nabi ?
Perilaku umum seperti di atas sedikit berbeda dengan Majelis Taklim Alhikam Cinta Indonesia. Di bawah binaan Habib Muhsin Bilfaqih, Yayasan Alhikam Cinta Indonesia yang belum lama eksis di Manado mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari warga. Yang sedikit berbeda ialah, tema yang di bahas, pendekatan dan metode diskusi, terakhir ialah keunikan lintas komunitas yang tergabung. Kemudian bagaimana pembacaan maulid nabi disuguhkan begitu harmoni. Menurut saya, pembacaan maulid nabi yang disuguhkan tidak biasa, begitu nikmat dimana anda akan nyaman dan benar-benar hanyut didalamnya.
Tema tausiyah yang diangkat tidak melulu soal agama, bisa soal sosial-kebudayaan dan isu-isu populer. Pembicaranya pun beragam asal bahkan lintas iman. Sehingga satu persoalan bisa dibahas dalam berbagai perspektif. Dengan begitu jamaah bisa utuh dalam memahami setiap persoalan hidup.
Dalam satu kesempatan diakhir tahun 2019 lalu, Gusdurian yang bekerja sama dengan Yayasan Alhikam Cinta Indonesia sempat membuat diskusi bersama. Berbagai komunitas hadir dalam diskusi tersebut diantaranya, tokoh lintas agama, Ahmadiyah dan Agama Baha'i. Dua yang terkahir ini selalu mendapatkan peminggiran dan stigma 'negatif' dari pemerintah serta 'mayoritas' masyarakat.
Dalam diskusi itu, semua diberi kesempatan bicara berdasarkan perspektifnya masing-masing secara leluasa, tanpa tekanan sama sekali. Bahwa ada perbedaan cara pandang itu bagian dari dinamika yang perlu disikapi dengan bijak bukan dengan emosi. Dan bukankah perbedaan adalah sunahtullah ?
Majelis alhikam membangun dialog terbuka dengan berbagai komunitas yang berbeda, bahkan dengan kelompok yang sering berbeda paham. Karena lebih baik diskusi dan debat gagasan di depan daripada menghakimi dari belakang. Model seperti itu hanya akan menambah daftar panjang salah paham. Dan jika kita periksa dengan seksama, banyak persekusi kelompok minoritas terjadi karena didasari salah paham.
Sehingga, apabila anda mencari majelis taklim yang cukup terbuka dengan beragam komunitas, aliran, ide dan gagasan. Maka Yayasan Alhikam Cinta Indonesia adalah salah satu diantaranya (mungkin satu-satunya). Kemajemukan adalah ciri khas majelis ini. Mungkin hampir semua majelis ilmu mendahulukan dialog atau diskusi. Tapi belum tentu inklusif sebagaimana pengertian di atas.
Keunikan seperti ini seperti angin segar bagi warga Manado yang berkarakter urban dan mejemuk. Dengan cepat Yayasan Alhikam Cinta Indonesia menjadi populer dan mendapatkan tempat utama, dibuktikan dengan munculnya berbagai cabang Alhikam di Sulawesi utara. Diantaranya di Kota Bitung, Kema dan Tanawangko. Sewaktu awal kuliah di IAIN Manado, saya sempat mendapati ratusan orang menghadiri majelis yang di gelar setiap selasa malam waktu itu.
Namun selayaknya hidup, selalu memiliki pengalaman jatuh bangun sendiri-sendiri. Ada yang suka, ada pula yang tidak. Eksistensi majelis Alhikam pun begitu. Pernah diterpa 'isu miring' oleh berbagai pihak. Tak ayal juga isu itu diarahkan untuk menyoroti subyek dari internal majelis.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Habib Muhsin Bilfaqih seperti membalik narasi umum majelis taklim arus utama di Manado. Habib Muhsin seperti kereta listrik yang berada ditengah-tengah gerbong konvensional. 'Sebagian pihak' belum mampu mengikuti apa yang dilakukan olehnya. Beliau terlalu cepat, sementara yang lain masih perlu penyesuaian. Akan tetapi, jika hal itu dimaknai sebagai dinamika yang perlu dihadapi, maka itu adalah tanda-tanda menuju kebesaran.
Orang seperti Gus Dur pun sempat diterpa 'isu miring' seperti itu karena nekat membela kelompok minoritas Ahmadiyah dari persekusi mayoritas. Tapi Gus Dur tetap teguh dalam pembelaan karena baginya keberpihakan pada nilai harus tetap diperjuangkan sebesar apapun resiko yang harus di bayar. Salah dan benar itu nomor kesekian, yang utama adalah soal kemanusiaan. Karena jamaah Ahmadiyah adalah manusia. Membela Tuhan, kata Gus Dur, salah satunya adalah dengan cara membela ciptaanya. Dengan begitu pula kita menghargai Agamanya.
Kini, tepat setahun Habib Muhsin Bilfaqih berpulang. Kita hanya bisa mengenang perjuangan beliau dari apa yang sempat dilakukan semasa hidupnya. Sekarang adalah tantangan bagi Yayasan Alhikam Cinta Indonesia untuk melanjutkan apa yang telah dimulai oleh beliau. Semoga.
Komentar