Sumber Google |
Prof. DR. Al Hafidz Al Musnid Al
Habib Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BilFaqih al-’Alawi adalah ulama yang
masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul
Qadir bin Ahmad BilFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang
diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di
Kota Malang, Jawa Timur.Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren
Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah
melahirkan banyak ulama yang kemudian hari bertebaran di segenap pelosok
Nusantara.
Sebagian dari mereka telah mengikuti
jejak langkah guru mereka dengan membuka pondok-pesantren demi menyiarkan
dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang ), Habib
Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP
at-Taroqy, Sampang, Madura) dan lain-lainnya. Bak Pinang Dibelah Dua Bapak dan anak
sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan
bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah.Masyarakat Malang dan
sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli
hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapak dan anak: Habib
Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih.
Begitu besar keinginan sang ayah untuk
“mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi
ilmunya.Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke
makam Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan
doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh sebagai ulama
besar, dan menjadi seorang ahli hadits.Beberapa bulan kemudian, doa itu
dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang
putra buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti
Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah.
Sesuai
dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun
mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu.
Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh
tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal itu tentu saja tidak terjadi
secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang
bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala
daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak
mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan
rajin.Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga
Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian
melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah
li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah
asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai murid,
semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab
sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski
begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi
ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah
sebagai ahli hadits.
Maka
wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab
hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad
dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk
hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam
Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan
lain-lain.
Tidak
hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist,
yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti
Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu
Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab
Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz
adz-Dzahaby.Empat MadzhabSelain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah
juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu
fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar,
Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.
Setelah
ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis
Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren,
muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul
Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan
maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan
rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di
IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan
profesor.Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik
ulung.
Mereka
bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri
tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti
ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat
dekat dengan para santri. Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan
santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia
selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan
selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si
santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat.
Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke
dokter.
Seperti
halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik,
disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya
selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya
bathil.Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja
ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan
hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran
dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.
Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411
H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya
memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang,
jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin,
Malang, Jawa Timur.
Komentar