Tentang Nabi Saw (V)

Tibalah saatnya ketika banyak kejadian aneh terjadi pada Nabi yang masih kecil ini, timbul kehawatiran Halimah dan suaminya yang menyebabkan Nabi diserahkan kembali pada ibunda Aminatu Zuhriyah. Terasa berat hati Halimah untuk berpisah dengan anak asuhnya ini, namun kehawatiran akan terjadinya peristiwa yang tidak umum selama Nabi berada ditangannya telah mendorong Halimah untuk menyerahkan kembali Nabi pada ibunya.

Cukup lama waktunya Bunda Halimatussadiyah terpisah dengan Nabi. Tercatat dalam riwayat bahwa Halimah sempat berkunjung menjenguk ketika peristiwa pernikahan Nabi dengan Sitti Khadijah yang cantik rupawan itu dan sempat memberikan hadiah yang sangat besar. Kunjungan untuk yang kedua kalinya disaat terjadinya perang Hunaian sambil Nabi berdiri tegak di tengah-tengah persiapan pasukan hendak berangkat, seraya Nabi memberi hormat dengan suka cita.

Bunda Halimatussadiyah dan suaminya bahkan semua anak cucunya masuk ajaran Islam dengan penuh ketekunan beribadah. Bahkan oleh para perawi hadits, Halimah dan suaminya digolongkan sebagai sahabat Nabi saw.

Ketika usia Nabi genap 4 tahun, seringkali Nabi teringat ayahnya Abdullah. Sejak bayi Nabi belum pernah melihat wajah ayahnya. Dalam penulisan awal telah kita fahami bahwa ayahnya telah meninggal dunia di Madinah, akan tetapi Nabi sendiri belum mengetahui peristiwa kematian ayahnya. Bagi Bunda Aminah belum saatnya untuk menerangkan hal kematian itu karena akan mempengaruhi secara psikologi kejiwaan Nabi.

Jika kita lebih dalam melakukan analisa tentang betapa dirahasiakannya prihal wafat ayahnya, hal ini beralasan mengingat tradisi bangsa Arab yang menjadi sebab utama. Tercatat dalam sejarah bahwa bangsa Arab secara tradisi sangat memuliakan ayah dibanding ibu mereka. Hal ini terbukti jika seorang ibu melahirkan anak perempuan, akan dibunuh hidup-hidup, karena dianggap itu adalah sebuah penghinaan. Sedangkan jika kelahiran itu anak laki-laki, maka hal itu adalah merupakan kebanggaan yang tiada tolok bandingannya.

Sebaliknya, apabila seorang anak telah kehilangan ayahnya (mati), hal itupun dipandang sebagai penghinaan bagi setiap anak. Pemandangan plemikiran seperti inilah yang selalu menghantui pikiran bunda Aminah, sehingga dengan demikian itulah sang bunda mengunci rapat-rapat tentang kematian suaminya terutama pada anaknya Nabi yang agung.

Dalam usia Nabi yang sangat kecil ini, dia membutuhkan kehadiran sosok seorang ayah. Bunda Aminah seringkali didesak Nabi agar segera mempertemukan dirinya dengan ayahnya. Sebagaimana kita fahami, bahwa yang ada dalam pikiran Nabi, ayahnya sedang berniaga, melakukan perdagangan ke Syam Siria, sehingga Nabipun meminta agar ibunya segera menyusul ayahnya.  Dibenak ibunya alangkah tidak etisnya berlama-lama merahasiakan kepergian suaminya pada anaknya Nabi yang mungil kecil itu, toh akhirnyapun anaknya akan tahu juga.

Menginjak usia Nabi genap empat tahun, Sang ibu mengajak Nabi pergi ke Madinah dalam rangka berziarah kekuburan ayahanda tercinta Abdullah bin Abdul Muthalib. Prakiraan manusia memang terbatas tak mencakup rahasia Ilahi. Allah berkehendak lain dalam peristiwa ziarah ini. Sekembali pulang masih dalam perjalanan, Bunda Aminah mendadak jatuh sakit yang menyebabkan bunda meninggal untuk selama-lamanya. Desa kecil yang jarang disinggahi setiap kafilah itu adalah desa Al-Abwa' perkampungan kecil antara Makkah dan Madinah, desa ini bertempat dibawah lereng gunung Hujun. Sang Nabi yang mulia termangu diam, sesekali tumpah air matanya, barusaja Nabi melihat makam ayahnya yang menghentakkan jiwanya kemudian besoknya dalam perjalanan pulang menerima pil pahit kematian ibunya. Sungguh kesedihan ini sulit utk dibyanngkan.

Dalam perjalanan ziarah ini mereka ditemani oleh seorang ibu pengasuh Nabi, dia adalah Ummu Aiman terlahir dari suku bangsa Habsyi. Ummu Aiman tampil mengambil alih peran Aminah terutama dalam merawat dan mengurus Nabi. Ajal tak dapat ditolak, setelah penguburan  terhadap jasad bunda Aminah selesai, Ummu Aiman dan Nabi bergegas pulang menuju Makkah kampung halaman tercinta.

Tidak banyak sejarawan mengungkap tentang seorang pemuda yang pertama masuk Islam, selian dia anak angkat Nabi, iapun orang kepercayaan Nabi yang hidup bersama Nabi dalam serumah dan dia tak lain adalah Zaid bin Haritsah. Tentu para pembaca perlu melahirkan pertanyaan dalam hal perhatian Nabi dengan kasih sayang yang diragukan? Tentu para pembaca sudah bisa menebak, mengapa Zaid begitu mampu mempengaruhi hati Nabi, sehingga dia sampai jadikan anak angkat Nabi? Hal ini di karenakan Zaid adalah anak dari Ummu Aiman yang banyak berjasa dalam ikut andil mengasuh dan memelihara Nabi.

Sepeninggal bunda Aminah, maka Ummu Aiman menyerahkan Nabi pada kakeknya Abdul Mutthalib seorang kakek penyayang yang sejak bayi menaruh perhatian pada cucu itu. Abdul Mutthalib adalah tokoh central sekaligus pemegang kunci Ka'bah. Kewibawaan dan kharismatiknya tak terbantahkan. Tercatat dalam sejarah peristiwa Raja Abrahah dan balatentaranya yang bermaksud menghancurkan Ka'bah, saat itu menjelang detik-detik kelahiran Nabi saw. Dengan kepiawaian  Abdul mutthalib pasukan Gajah itu dapat dihalau dengan taktik yang tanpa pertumpahan darah di kota Makkah. Bahkan oleh karena Mu'jizat kelahiran Nabi maka pasukan Abrahah itu digempur oleh burung2 ababil kiriman Allah.

Abdul Mutthalib pernah berkata:  Sungguh cucuku ini mempunyai kepribadian yang agung, maka beruntunglah bagi orang yang menghornati dan memuliakannya. Salah satu hal yang berbeda antara manusia pada umumnya dengan Nabi, adalah ketika Nabi masih kecil tidak pernah dirinya mengeluh lapar atau haus, nampak beliau sangat menjaga diri. 

Kebiasaan Nabi sewaktu kecil tdk pernah sarapan pagi, cukup beliau minum air zam-zam dan baginya itu sudah mengenyangkan sealigus menyegarkan. Dua tahun Nabi di asuh kakeknya Abdul Mutthalib yakni hingga usia 8 tahun. Kasih sayang dan kecintaan kakeknya telah menghiasi lembaran sejarah ini. Akhirnya tiba saatnya Abdul Mutthalib dipanggil Allah swt dan berduka bumi Makkah dan seluruh jazirah Arabia.

Sungguh kuat mental Nabi yang ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya. Ayah dan ibunya adalah manusia2 tempat sandaran keluhan jiwanya namun semua telah tiada, kini Abdul Mutthalib sang kakek penyayang itupun telah pergi, perlahan-lahan manusia yang melindungi dirinya satu demi satu tiada. Nabi benar-benar yatim ditengah-tengah deru sepanjang kelahiran. Nabi benar2 piatu disaat-saat air pasang batu bersibak.

Kini yang masih tersisa tumpuan harapannya adalah seorang paman yang terkenal dengan kepribadian yang sederhana namun sangat kharismatik. Dia adalah Abu Thalib saudara kandung ayah Nabi sendiri. Abu Thalib terkenal dengan penjelmaan tumpuan kepimpinan di kalangan bani Hasyim sekaligus estafet pemegang kunci Ka'bah Al-Muadzamah.

Di usia 8 tahun, nabi mulai beradabtasi dikediaman rumah pamannya Abu Thalib. Cukup banyak anak-anak Abu Thalib diharus dibina  didisik dan di asuh pamannya, namun tidak mengganggu kecintaan dan kasihsayang pamannya terhadap Nabi. Dari madrasah Abu Thalib inilah, satu demi satu pengalaman empirik diraih. Sejak belajar bagaimana menggembala kambing, berdagang bahkan hingga menikah, semua ini adalah hasil jerih payah potret pendidikan yang disuguhkan kepada Nabi sehingga sejarahpun mencatat akan hal itu.

Banyak pelajaran yang tersirat dibalik menggembala kambing, antara lain adalah hewan adalah watak manusia yang tak ber akal. Walaupun hewan memiliki naluri namun terbatas pada kekuatan akal .

Hewan seperti kambing, domba dan biri-biri, beberapa titik kesamaan dengan manusia yang perlu di perhatikan namun pada titik lain semestinya tidak di ikuti mansia. Contoh beberapa kesaman itu antara lain: kambing memiliki tradisi mencari makanan/nafkah di luar kandang. Serelah kenyang pulang kandang/rumah dan kemusian tidur. Bangun tidur cari makanan/nafkah kemudian pulang kandang dan tidur. Begitu seterusnya. Kabiasaan ini tak jauh beda dwngan kehidupan manusia.

Manusia pergi cari nafkah pulang rumah dan istirahat tidur. Bangun makan cari nafkah pulang tidur/istirahat. Jika kita mau jujur tatacara san sikap manusia seperti ini sama halnya dengan watak hewan.

Oleh sebab itu Salah satu dari tujuan setiap Nabi memelihara dan beternak kambing/domba adalah  mengambil pelajaran dari semua itu untuk bahan pelajaran teehadap manusia. Adapun cara untuk membedakan antara manusia dwngan hewan/kambing,  adalah manusia membutuhkan Allah, dengan tatacara beribadah kepadaNya. Manusia butuh tuntunan dalam hidup sesuai dengan tuntunan Allah, agar hidup tidak tersesat dan selalu meraih barkah dunia akhirat. Sementara hewan tidak butuh bimbingan Tuhan secara langsung cukup di mediasi manusia yg memililki Akal.
Kesimpulan yang mesti disepakati adalah; bahwa manusia yang tdk mengabdi kepada Allah adalah hewan.
Itulah sebabnya sering kita dengar ada ungkapan bahwa, hewan itu adalah manusia yang memiliki akal, sedangkan manusia adalah hewan yang disertai akal hanya berbeda tipe cassing saja.

Selanjutnya sejak remaja, Nabi sudah berdagang, mempelajari pangsa pasar, polarisasi berdagang, bagaimana sikap pembeli, bagaimana juga watak penjual. Bagaimana takaran sistim timbangan, bagaimana takaran perkilo dan liter. Semua ini menjadi tolok ukur bagi Nabi agar si kemudian hari menjadi bagian  yang amat penting utk dirubah sistimnya atau direformasi pada bagian2 tertentu yang dianggap merugikan sepihak. 

Bukankah sejak layar terkembang pola tipu menipu dalam timbangan, cara-cara mengambil untung berlebihan dan sistim memperkaya diri dan menjatuhkan orang lain itu sudah terkenal dalam perdagangan? Berangkat dari semua itulah, nabi terjun turut bardagang sekaligus melihat dan mempelajari kemudian meralat dan membetulkan pola-pola yang keliru.

Sang Paman merawat dan mengasuh Nabi dengan kesungguhan jiwa dan penuh perhatian, sekaligus menjaga kehormayannya. Abu Thalib begitu mencintai Nabi melebihi kasihsayang terhadap anak2nya. 

Disaat Nabi mencapai usia 12 tahun, pamannya mengajak Nabi berangkat ke negeri Syam dengan maksud membawa perdagangan. Di Syam, ada seorang pendeta terkenal ke alimannya Buchairah, dari beberapa tanda yang terdapat pada diri Nabi, dia telah memahami tentang keagungan dan kehormatan Nabi. Pendeta Buchairah ini telah membeberkan tentang tanda ke-nabian yang melekat pada diri Nabi dan semua di jelaskan pada pamannya.

Pendeta Buchairah mengatakan "sungguh aku mengerti bahwa anak ini akan menjadi pemimpin di alam semesta ini dan menjadi utusan Allah serta menjadi nabi kelak. Aku melihat kayu dan batu memberi hormat kepadanya, sementara benda-benda itu tak mungkin memberi hormat jika anak ini bukan seorang utusan Allah swt.

Pendeta menambahkan; kitab samawi terdahulu telah menerangkan akan hal ini, dan bisa dibuktikan dengan tanda yang lain, bahwa diantara kedua Belikatnya terdapat "CAP KENABIAN" yang penuh cahaya dan itu tanda dia memiliki martabat tinghi". Pendeta memberi saran kepada Abu Thalib agar segera membawa pulang kembali ke Makkah, mengingat Yahudi selalu mengintai dan tak rela jika ada Nabi utusan Allah yang bukan dari bangsanya.

Bangsa Yahudi bersepakat bahwa sesudah Nabi Isa, akan lahir Nabi terakhir, akan tetapi yang disepakati mereka adalah harus dari bangsa Yahudi pula. Kita harus fahami bahwa bangsa Yahudi terkenal dengan sistim primorsialisme, keberpihakan terhadap suku, ras dan bangsanya sangat tinggi. Kehawatiran pendwta Buchaira sangat beralasan mengingat pembunuhan oleh yahudi terhadap para Nabi adalah sudah merupakan hal kebiasaan mereka.  Sejak zaman Nabi Nuh, Zaman Nabi Hud dan seterusnya,  kematian para Nabi adalah akibat pembunuhan yang sering dilakkukan oleh banhsa Yahudi.

Ketika Nabi ber-anjak usia 25 tahun, berangkatlah beliau ke negeri Bashra (Syam) dalam rangka melakukan perdagangan kepunyaan seorang janda kaya Khadijah, saudagar ulung yang berbangsa tinggi. 

Maishara adalah seorang pemuda karyawan setianya Khadijah, ikut menyertai dan membantu Nabi dalam expedisi ini. Dalam perjalanan ini, kebetulan Nabi mampir sebentar dibawah pohon dekat Gereja Nasthura yang disaat itu seorang pendeta sedang duduk bersandar di dinding gereja. Sang pendeta sempat melihat ketika ada bayangan pohon rindang benar-benar condong melindungi badan Nabi.

Berkatalah penswta itu: Orang yang berhenti dibawah pohon ini, tdk lain tentu calon Nabi yang mempunyai sifat-sifat terpuji dan suci. Dan tentu saja dia adalah utusan Allah yang memiliki segala ke utamaan dan AnugetahNya.  Kepada Maishara,pendeta bertanya: apakah pada kedua belah matanya trtdapat tanda kemerah-merahan? Ini sekedar untuk menguatkan pandangan spritual yang masih samar. Lantas Maishara menjawab; benar!  Maka tepatlah dugaan pendeta itu dan pendeta berkata lagi; Janganlah anda memisahkan diri darinya, sertailah ia denhan kesungguhan hati dan hiasilah niatmu dengan kebaikan. Ia adalah seorang manusia yang dipilih Allah untuk mendapatkan pangkat keNabian.


Muhsin Bilfagih

Komentar

Unknown mengatakan…
Salam untk keluarga Bilfaqih wabil khusus buat Tuan Guru Besar Al-Habib. Muchsin Bilfaqih senantiasa shat wal afiat.
Rahman Mantu mengatakan…
Salam untuk sahabat Raswan Qauliyah...
Semoga dalam lindungan Allah Swt...