Tibalah saatnya ketika banyak
kejadian aneh terjadi pada Nabi yang masih kecil ini, timbul kehawatiran
Halimah dan suaminya yang menyebabkan Nabi diserahkan kembali pada ibunda
Aminatu Zuhriyah. Terasa berat hati Halimah untuk berpisah dengan anak asuhnya
ini, namun kehawatiran akan terjadinya peristiwa yang tidak umum selama Nabi
berada ditangannya telah mendorong Halimah untuk menyerahkan kembali Nabi pada
ibunya.
Cukup lama waktunya Bunda
Halimatussadiyah terpisah dengan Nabi. Tercatat dalam riwayat bahwa Halimah
sempat berkunjung menjenguk ketika peristiwa pernikahan Nabi dengan Sitti
Khadijah yang cantik rupawan itu dan sempat memberikan hadiah yang sangat
besar. Kunjungan untuk yang kedua kalinya disaat terjadinya perang Hunaian sambil
Nabi berdiri tegak di tengah-tengah persiapan pasukan hendak berangkat, seraya
Nabi memberi hormat dengan suka cita.
Bunda Halimatussadiyah dan suaminya
bahkan semua anak cucunya masuk ajaran Islam dengan penuh ketekunan beribadah.
Bahkan oleh para perawi hadits, Halimah dan suaminya digolongkan sebagai
sahabat Nabi saw.
Ketika usia Nabi genap 4 tahun,
seringkali Nabi teringat ayahnya Abdullah. Sejak bayi Nabi belum pernah melihat
wajah ayahnya. Dalam penulisan awal telah kita fahami bahwa ayahnya telah
meninggal dunia di Madinah, akan tetapi Nabi sendiri belum mengetahui peristiwa
kematian ayahnya. Bagi Bunda Aminah belum saatnya untuk menerangkan hal
kematian itu karena akan mempengaruhi secara psikologi kejiwaan Nabi.
Jika kita lebih dalam melakukan analisa tentang betapa dirahasiakannya prihal wafat ayahnya, hal ini beralasan mengingat tradisi bangsa Arab yang menjadi sebab utama. Tercatat dalam sejarah bahwa bangsa Arab secara tradisi sangat memuliakan ayah dibanding ibu mereka. Hal ini terbukti jika seorang ibu melahirkan anak perempuan, akan dibunuh hidup-hidup, karena dianggap itu adalah sebuah penghinaan. Sedangkan jika kelahiran itu anak laki-laki, maka hal itu adalah merupakan kebanggaan yang tiada tolok bandingannya.
Sebaliknya, apabila seorang anak
telah kehilangan ayahnya (mati), hal itupun dipandang sebagai penghinaan bagi
setiap anak. Pemandangan plemikiran seperti inilah yang selalu menghantui
pikiran bunda Aminah, sehingga dengan demikian itulah sang bunda mengunci
rapat-rapat tentang kematian suaminya terutama pada anaknya Nabi yang agung.
Dalam usia Nabi yang sangat kecil ini, dia membutuhkan kehadiran
sosok seorang ayah. Bunda Aminah seringkali didesak Nabi agar segera
mempertemukan dirinya dengan ayahnya. Sebagaimana kita fahami, bahwa yang
ada dalam pikiran Nabi, ayahnya sedang berniaga, melakukan perdagangan ke Syam
Siria, sehingga Nabipun meminta agar ibunya segera menyusul ayahnya.
Dibenak ibunya alangkah tidak etisnya berlama-lama merahasiakan kepergian
suaminya pada anaknya Nabi yang mungil kecil itu, toh akhirnyapun anaknya akan
tahu juga.
Menginjak usia Nabi genap empat
tahun, Sang ibu mengajak Nabi pergi ke Madinah dalam rangka berziarah kekuburan
ayahanda tercinta Abdullah bin Abdul Muthalib. Prakiraan manusia memang
terbatas tak mencakup rahasia Ilahi. Allah berkehendak lain dalam peristiwa
ziarah ini. Sekembali pulang masih dalam perjalanan, Bunda Aminah mendadak
jatuh sakit yang menyebabkan bunda meninggal untuk selama-lamanya. Desa kecil
yang jarang disinggahi setiap kafilah itu adalah desa Al-Abwa' perkampungan
kecil antara Makkah dan Madinah, desa ini bertempat dibawah lereng gunung
Hujun. Sang Nabi yang mulia termangu diam, sesekali tumpah air matanya, barusaja
Nabi melihat makam ayahnya yang menghentakkan jiwanya kemudian besoknya dalam
perjalanan pulang menerima pil pahit kematian ibunya. Sungguh kesedihan ini
sulit utk dibyanngkan.
Dalam perjalanan ziarah ini mereka ditemani oleh seorang ibu
pengasuh Nabi, dia adalah Ummu Aiman terlahir dari suku bangsa Habsyi. Ummu
Aiman tampil mengambil alih peran Aminah terutama dalam merawat dan mengurus
Nabi. Ajal tak dapat ditolak,
setelah penguburan terhadap jasad bunda Aminah selesai, Ummu Aiman dan
Nabi bergegas pulang menuju Makkah kampung halaman tercinta.
Tidak banyak sejarawan mengungkap
tentang seorang pemuda yang pertama masuk Islam, selian dia anak angkat Nabi,
iapun orang kepercayaan Nabi yang hidup bersama Nabi dalam serumah dan dia tak
lain adalah Zaid bin Haritsah. Tentu para pembaca perlu melahirkan pertanyaan
dalam hal perhatian Nabi dengan kasih sayang yang diragukan? Tentu para pembaca
sudah bisa menebak, mengapa Zaid begitu mampu mempengaruhi hati Nabi, sehingga
dia sampai jadikan anak angkat Nabi? Hal ini di karenakan Zaid adalah anak dari
Ummu Aiman yang banyak berjasa dalam ikut andil mengasuh dan memelihara Nabi.
Sepeninggal bunda Aminah, maka Ummu Aiman menyerahkan Nabi pada
kakeknya Abdul Mutthalib seorang kakek penyayang yang sejak bayi menaruh
perhatian pada cucu itu. Abdul Mutthalib adalah tokoh central sekaligus
pemegang kunci Ka'bah. Kewibawaan dan kharismatiknya tak terbantahkan. Tercatat
dalam sejarah peristiwa Raja Abrahah dan balatentaranya yang bermaksud
menghancurkan Ka'bah, saat itu menjelang detik-detik kelahiran Nabi saw. Dengan
kepiawaian Abdul mutthalib pasukan Gajah itu dapat dihalau dengan taktik
yang tanpa pertumpahan darah di kota Makkah. Bahkan oleh karena Mu'jizat
kelahiran Nabi maka pasukan Abrahah itu digempur oleh burung2 ababil kiriman
Allah.
Abdul Mutthalib pernah berkata: Sungguh cucuku ini
mempunyai kepribadian yang agung, maka beruntunglah bagi orang yang menghornati
dan memuliakannya. Salah satu hal yang berbeda antara manusia pada umumnya
dengan Nabi, adalah ketika Nabi masih kecil tidak pernah dirinya mengeluh lapar atau haus,
nampak beliau sangat menjaga diri.
Kebiasaan Nabi sewaktu kecil tdk
pernah sarapan pagi, cukup beliau minum air zam-zam dan baginya itu sudah
mengenyangkan sealigus menyegarkan. Dua tahun Nabi di asuh kakeknya Abdul
Mutthalib yakni hingga usia 8 tahun. Kasih sayang dan kecintaan kakeknya telah
menghiasi lembaran sejarah ini. Akhirnya tiba saatnya Abdul Mutthalib dipanggil
Allah swt dan berduka bumi Makkah dan seluruh jazirah Arabia.
Sungguh kuat mental Nabi yang
ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya. Ayah dan ibunya adalah
manusia2 tempat sandaran keluhan jiwanya namun semua telah tiada, kini Abdul
Mutthalib sang kakek penyayang itupun telah pergi, perlahan-lahan manusia yang
melindungi dirinya satu demi satu tiada. Nabi benar-benar yatim ditengah-tengah
deru sepanjang kelahiran. Nabi benar2 piatu disaat-saat air pasang batu
bersibak.
Kini yang masih tersisa tumpuan
harapannya adalah seorang paman yang terkenal dengan kepribadian yang sederhana
namun sangat kharismatik. Dia adalah Abu Thalib saudara kandung ayah Nabi sendiri.
Abu Thalib terkenal dengan penjelmaan tumpuan kepimpinan di kalangan bani
Hasyim sekaligus estafet pemegang kunci Ka'bah Al-Muadzamah.
Di usia 8 tahun, nabi mulai beradabtasi dikediaman rumah
pamannya Abu Thalib. Cukup banyak anak-anak Abu Thalib diharus dibina
didisik dan di asuh pamannya, namun tidak mengganggu kecintaan dan kasihsayang
pamannya terhadap Nabi. Dari
madrasah Abu Thalib inilah, satu demi satu pengalaman empirik diraih. Sejak
belajar bagaimana menggembala kambing, berdagang bahkan hingga menikah, semua
ini adalah hasil jerih payah potret pendidikan yang disuguhkan kepada Nabi
sehingga sejarahpun mencatat akan hal itu.
Banyak pelajaran yang tersirat
dibalik menggembala kambing, antara lain adalah hewan adalah watak manusia yang
tak ber akal. Walaupun hewan memiliki naluri namun terbatas pada kekuatan akal
.
Hewan seperti kambing, domba dan biri-biri, beberapa titik
kesamaan dengan manusia yang perlu di perhatikan namun pada titik lain semestinya
tidak di ikuti mansia. Contoh beberapa kesaman itu antara lain: kambing
memiliki tradisi mencari makanan/nafkah di luar kandang. Serelah kenyang pulang
kandang/rumah dan kemusian tidur. Bangun tidur cari makanan/nafkah kemudian
pulang kandang dan tidur. Begitu seterusnya. Kabiasaan ini tak jauh beda dwngan
kehidupan manusia.
Manusia pergi cari nafkah pulang
rumah dan istirahat tidur. Bangun makan cari nafkah pulang tidur/istirahat.
Jika kita mau jujur tatacara san sikap manusia seperti ini sama halnya dengan
watak hewan.
Oleh sebab itu Salah satu dari tujuan setiap Nabi memelihara dan
beternak kambing/domba adalah mengambil pelajaran dari semua itu untuk
bahan pelajaran teehadap manusia. Adapun cara untuk membedakan antara manusia
dwngan hewan/kambing, adalah manusia membutuhkan Allah, dengan tatacara
beribadah kepadaNya. Manusia butuh tuntunan dalam hidup sesuai dengan tuntunan
Allah, agar hidup tidak tersesat dan selalu meraih barkah dunia akhirat.
Sementara hewan tidak butuh bimbingan Tuhan secara langsung cukup di mediasi
manusia yg memililki Akal.
Kesimpulan yang mesti disepakati adalah; bahwa manusia yang tdk mengabdi kepada Allah adalah hewan.
Kesimpulan yang mesti disepakati adalah; bahwa manusia yang tdk mengabdi kepada Allah adalah hewan.
Itulah sebabnya sering kita dengar ada ungkapan bahwa, hewan itu
adalah manusia yang memiliki akal, sedangkan manusia adalah hewan yang disertai
akal hanya berbeda tipe cassing saja.
Selanjutnya sejak remaja, Nabi sudah
berdagang, mempelajari pangsa pasar, polarisasi berdagang, bagaimana sikap
pembeli, bagaimana juga watak penjual. Bagaimana takaran sistim timbangan,
bagaimana takaran perkilo dan liter. Semua ini menjadi tolok ukur bagi Nabi
agar si kemudian hari menjadi bagian yang amat penting utk dirubah
sistimnya atau direformasi pada bagian2 tertentu yang dianggap merugikan
sepihak.
Bukankah sejak layar terkembang pola
tipu menipu dalam timbangan, cara-cara mengambil untung berlebihan dan sistim
memperkaya diri dan menjatuhkan orang lain itu sudah terkenal dalam perdagangan?
Berangkat dari semua itulah, nabi terjun turut bardagang sekaligus melihat dan
mempelajari kemudian meralat dan membetulkan pola-pola yang keliru.
Sang Paman merawat dan mengasuh Nabi dengan kesungguhan jiwa dan
penuh perhatian, sekaligus menjaga kehormayannya. Abu Thalib begitu mencintai
Nabi melebihi kasihsayang terhadap anak2nya.
Disaat Nabi mencapai usia 12 tahun,
pamannya mengajak Nabi berangkat ke negeri Syam dengan maksud membawa
perdagangan. Di Syam, ada seorang pendeta terkenal ke alimannya Buchairah, dari
beberapa tanda yang terdapat pada diri Nabi, dia telah memahami tentang keagungan
dan kehormatan Nabi. Pendeta
Buchairah ini telah membeberkan tentang tanda ke-nabian yang melekat pada diri
Nabi dan semua di jelaskan pada pamannya.
Pendeta Buchairah mengatakan
"sungguh aku mengerti bahwa anak ini akan menjadi pemimpin di alam semesta
ini dan menjadi utusan Allah serta menjadi nabi kelak. Aku melihat kayu dan batu memberi hormat kepadanya, sementara benda-benda itu
tak mungkin memberi hormat jika anak ini bukan seorang utusan Allah swt.
Pendeta menambahkan; kitab samawi
terdahulu telah menerangkan akan hal ini, dan bisa dibuktikan dengan tanda yang
lain, bahwa diantara kedua Belikatnya terdapat "CAP KENABIAN" yang
penuh cahaya dan itu tanda dia memiliki martabat tinghi". Pendeta memberi
saran kepada Abu Thalib agar segera membawa pulang kembali ke Makkah, mengingat
Yahudi selalu mengintai dan tak rela jika ada Nabi utusan Allah yang bukan dari
bangsanya.
Bangsa Yahudi bersepakat bahwa sesudah Nabi Isa, akan lahir Nabi
terakhir, akan tetapi yang disepakati mereka adalah harus dari bangsa Yahudi
pula. Kita harus fahami bahwa bangsa Yahudi terkenal dengan sistim
primorsialisme, keberpihakan terhadap suku, ras dan bangsanya sangat tinggi.
Kehawatiran pendwta Buchaira sangat beralasan mengingat pembunuhan oleh yahudi
terhadap para Nabi adalah sudah merupakan hal kebiasaan mereka. Sejak
zaman Nabi Nuh, Zaman Nabi Hud dan seterusnya, kematian para Nabi adalah
akibat pembunuhan yang sering dilakkukan oleh banhsa Yahudi.
Ketika Nabi ber-anjak usia 25 tahun, berangkatlah beliau ke
negeri Bashra (Syam) dalam rangka melakukan perdagangan kepunyaan seorang janda
kaya Khadijah, saudagar ulung yang berbangsa tinggi.
Maishara adalah seorang pemuda
karyawan setianya Khadijah, ikut menyertai dan membantu Nabi dalam expedisi
ini. Dalam perjalanan ini, kebetulan Nabi mampir sebentar dibawah pohon dekat
Gereja Nasthura yang disaat itu seorang pendeta sedang duduk bersandar di
dinding gereja. Sang pendeta sempat melihat ketika ada bayangan pohon rindang
benar-benar condong melindungi badan Nabi.
Berkatalah penswta itu: Orang yang berhenti dibawah pohon ini, tdk lain tentu calon Nabi yang mempunyai sifat-sifat terpuji dan suci. Dan tentu saja dia adalah utusan Allah yang memiliki segala ke utamaan dan AnugetahNya. Kepada Maishara,pendeta bertanya: apakah pada kedua belah matanya trtdapat tanda kemerah-merahan? Ini sekedar untuk menguatkan pandangan spritual yang masih samar. Lantas Maishara menjawab; benar! Maka tepatlah dugaan pendeta itu dan pendeta berkata lagi; Janganlah anda memisahkan diri darinya, sertailah ia denhan kesungguhan hati dan hiasilah niatmu dengan kebaikan. Ia adalah seorang manusia yang dipilih Allah untuk mendapatkan pangkat keNabian.
Muhsin Bilfagih
Komentar
Semoga dalam lindungan Allah Swt...