![]() |
Pejabat dan Ummat Non-Muslim Di Manado Yang Hadir Di Masjid. |
Jika Anda datang ke
Manado, Sulawesi Utara secara umum, pemandangan non-muslim berkunjung atau
masuk ke dalam masjid sudah menjadi biasa. Tradisi seperti ini tidak mendapat
tantangan dari tokoh muslim apalagi ummat lainnya. Banyak hal yang melatar
belakangi non-muslim hadir di dalam masjid, biasanya oleh karena kegiatan keagamaan,
agenda pembangunan/rehabilitasi bangunan masjid, pemberian sumbangan oleh
non-muslim kepada pembangunan masjid dan lain sebagainya.
Non-muslim yang
bertamu ke masjid pun beragam. Mulai dari pejabat, tukang/kulli bangungan
hingga masyarakat umum. Belakangan, seiring dengan maraknya dakwah yang
bernuansa sentiment keagamaan, warga muslim Manado sedang dibingungkan dengan
fatwa-fatwa haram menerima non-muslim untuk masuk ke dalam masjid.
Menyikapi hal ini,
sebagai sebuah organisasi dakwah sosial keagamaan, Yayasan Al Hikam Cinta
Indonesia berupaya meyakinkan ummat Islam Manado dan sekitarnya untuk tidak
terjebak pada kampanye-kampanye tidak simpatik tersebut. Hal ini demi menjaga
stabilitas kehidupan harmonis warga Manado, dengan segenap keragamannya, yang
selama ini telah terjalin dengan baik.
Pada kesempatan ini,
penting untuk memberikan “pencerahan” kepada ummat terkait apa yang menjadi
landasan hukum bagi non-muslim memasuki tempat ibadah orang Islam. Setidaknya,
informasi kali ini bisa memberikan khazanah pengetahuan demi menjaga kehidupan yang
beragam tanpa prasangka (stereotype) antar kelompok masyarakat.
Dalam Islam,
Ahlusunnah Wal Jama’ah tentunya, terdapat 4 mazhab fiqih yang membincangkan
persoalan ini. Pertama: Menurut
Mazhab Hanafi, Non-Muslim boleh masuk
masjid, bahkan Masjid al-Haram (Masjid tempat beradanya Ka’bah).
Alasannya, karena Rasûlullâh saw pernah menerima delegasi Tsaqif
di masjid Nabawi,
sedangkan mereka belum Islam.
Kedua: Non-Muslim
dilarang masuk masjid, kecuali untuk aktivitas yang
bersifat darurat. Ini adalah pendapat madzhab Maliki. Secara
umum, pendapat ini ingin menyatakan, bahwa non-muslim boleh masuk masjid—baik
dengan syarat ada izin dari kaum Muslim atau kepentingan yang
mendesak—sesungguhnya bisa dikembalikan pada satu hal, yaitu pendapat kepala
negara (Khalifah).
Ketiga: menurut
Mazhab Syafi’i, non-muslim boleh
masuk masjid dengan seizin kaum Muslim, kecuali Masjid al-Haram, dan setiap
masjid di Tanah Haram. Dalam
salah satu riwayat juga dinyatakan, bahwa Imam Ahmad r.a berpendapat
sama. Sebagian madzhab Hanbali juga sependapat
dengan hal ini, sebagaimana, Ibn Qudamah (bermadzhab Hanbali), dalam kitabnya, Al-Mughni,
berpendapat, “Adapun masjid di Tanah Halal, mereka tidak boleh
memasukinya, kecuali dengan izin kaum Muslim. Jika mereka diizinkan untuk
memasukinya maka menurut madzhab yang sahih dibolehkan. Sebab,
Nabi saw pernah didatangi delegasi penduduk Thaif (Bani Tsaqif).
Baginda pun mempersilahkan mereka singgah di masjid, sebelum mereka masuk
Islam.”
Contoh lain, Said bin al-Musayyib berkata, “Abu
Sufyan pernah masuk Masjid Nabawi saat masih musyrik. ‘Umair bin Wahab juga
pernah masuk Masjid Nabawi, saat Nabi ada di sana, dan dia hendak menyerang
beliau, kemudian Allâh menganugerahkan Islam kepadanya.” (Lihat
di Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi,
XIII/202.)
Mazhab terakhir, keempat: Non-muslim tidak boleh masuk masjid.
Ini adalah pendapat dalam riwayat “lain” dari Imam Ahmad (Madzhab Hanbali).
Alasannya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah, karena Abu Musa
al-Asy’ari pernah menemui Umar, selaku khalifah, dengan membawa surat. Umar
berkata kepada Abu Musa, “Panggil orang yang menulisnya, untuk
membacakannya.” Abu Musa menjawab, “Dia
tidak boleh masuk masjid.” Umar bertanya, “Mengapa?” Abu
Musa menjawab, “Karena dia Kristen.” Ini
menjadi argumen di kalangan sahabat dan mereka sepakat. Selain itu, juga dengan
alasan, bahwa hadats junub, haid dan nifas
saja dilarang untuk tinggal di masjid, maka hadats syirik
tentu lebih tidak boleh lagi.(Cek di Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Ibid,
XIII/202)
Berangkat dari
pendapat yang disadur melalui “fatwa” keempat mazhab, kita bisa melihat secara
jelas, terdapat 3 mazhab yang memperbolehkan (dengan ketentuan-ketentuannya),
sedang yang tidak memperbolehkan hanya 1 mazhab, Hambali (itu pun sebagian
saja). Lebih jauh, Islam sesungguhnya sangat mengapresiasi non-muslim untuk
hadir dan berinteraksi di dalam Masjid. Mari dukung keharmonisan diruang dan
tempat manapun. Keimanan seorang akan melemah atau meningkat bukan dilihat dari
seringnya saling berkunjung di rumah ibadah agama lain, tapi sejauhmana muslim
itu sendiri memakmurkan masjid. Bagaimana dengan muslim yang masuk ke gereja
atau tempat ibadah ummat lain?
Komentar