Gus Dur dan Semangat Kebangsaan

Dilihat dari luar Indonesia bisa berkesan sebuah kemustahilan. Lebih dari seribu pulau terhuni, ratusan bahasa dan budaya lokal, ras-ras yang berbeda, serta kemajemukan agama dan penghayatan di dalam masing-masing agama. Kok bisa menjadi satu Indonesia dan yang tetap kokoh!
Kesatuan itu bukan hadiah orang lain. Penjajah justru mau menggagalkan kesatuan itu. Namun Belanda gagal total. Kesatuan Indonesia adalah hasil perjuangan bangsa Indonesia. Karena itu kebangsaan begitu berharga bagi orang Indonesia. Ada yang berkurban dan mati demi Indonesia Merdeka.
Ada dua peristiwa yang teramat penting bagi kesatuan bangsa: 1928 Sumpah Pemuda dan 1945 Pancasila.
Dalam Sumpah Pemuda suku terbesar di Indonesia, suku Jawa, bersedia bahwa bahasa Melayu dan bukan bahasa Jawalah yang menjadi bahasa Indonesia. Demi persatuan bangsa. Supaya jangan terjadi kesan Indonesia adalah Jawa Raya.
Dalam Pancasila mayoritas Muslim menyatakan kesediaannya untuk tidak diberi kedudukan khusus dalam Republik yang baru diproklamirkan kemerdekaannya, serta untuk menjamin bahwa segenap warga Indonesia sama kedudukannya tanpa membedakan menurut agama. Karena kesediaan itu seluruh suku dan etnik di seantero Nusantara bersedia bersatu dalam satu Republik Indonesia.
Ada yang cukup menarik. Sesudah Pak Harto ‘lengser keprabon‘, kekhawatiran banyak orang jangan-jangan negara Republik Indonesia kena disintegrasi, mengalami nasib sama dengan Yugoslavia dan Uni Soviet yang menghilang dari peta bumi, ternyata tanpa alasan. Memang terjadi banyak tindakan anarkis, tetapi kesatuan bangsa tidak pernah terancam. Kekuatan rasa kebangsaan waktu itu betul-betul membuktikan diri.
Tetapi sekarang kebangsaan Indonesia terancam. Bukan karena ada musuh di luar, melainkan dari dalam. Ada dua ancaman.
Yang satu adalah perangkap konsumerisme. Orang latah gila hanya ingin terus beli lebih banyak dari produksi kapitalisme global gilang cemerlang di mall-mall sehingga rasa kebangsaan seakan-akan menguap. Kalau bisa, mereka shopping sampai ke Singpura atau San Francisco hanya untuk mengalami kemewahan. Bagi mereka itu bangsa tidak berarti apa-apa lagi.
Yang satunya adalah fanatisme agama. Bagi mereka nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebudayaan, dan nilai-nilai kebangsaan tidak berarti sama sekali. Tahunya hanya ajaran agama yang sudah mereka kerdilkan menjadi sempit penuh dengki dan agresi. Mereka lupa bahwa manusia utuh diciptakan Allah dan ditempatkan di bumi, di keluarga tertentu, di suku dan budaya tertentu, di bangsa tertentu, dan di agama tertentu. Maka semuanya itu harus dihayati kalau Sang Pencipta mau dihormati.
Yang betul-betul menghayati keutuhan kemanusiaan adalah Gus Dur. Gus Dur merangkul semua nilai, yang dibencinya hanya kepicikan. Ia seorang Muslim yakin, hatinya penuh rasa kemanusiaan dan ia seorang nasionalis Indonesia tulen.
Gus Dur tetap contoh dan guru bangsa. Kita boleh bangga mempunyai guru bangsa seperti Gus Dur. Harusnya kita bangga menjadi orang Indonesia!
*penulis adalah Teolog, Direktur Program Pasca-Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
Sumber: http://gusdurian.net/gus-dur-dan-semangat-kebangsaan-2/

Komentar