Gus Dur telah mewariskan cahaya perdamaian bagi Indonesia. Dengan
gaya politiknya yang nyentrik, beliau telah mendedikasikan usianya untuk
mewujudkan toleransi dan merealisasikan hak asasi manusia dalam tatanan
multikultur. Di lain sisi, manusia adalah makhluk komunikasi. Untuk
merealisasikan tujuan-tujuan hidup, manusia harus melakukan komunikasi.
Demikian pula untuk mewujudkan visi ideal Gus Dur. Para Gusdurian dapat
meneguhkan komunikasi multikultur atau lazim disebut komunikasi
antarbudaya dalam memperjuangkan perdamian yang telah diretas beliau di
Nusantara.
Komunikasi Antarbudaya di Indonesia
Proses komunikasi yang efektif akan terjadi bila komunikator dan komunikan memiliki derajat dan kapasitas yang sama yang disebut homophily. Di mana kedua aktor komunikasi kesadaran yang sama (equal) pada sisi norma, pengetahuan, dan aspek-aspek sosial lainnya. Semakin sederhana sebuah masyarakat, akan semakin efektif pula proses komunikasi. Masyarakat yang paling sederhana adalah keluarga inti (nuclear family). Kesederhanaan masih dalam tahap netral pada konteks masyarakat yang lazim kita asumsikan sebagai masyarakat tradisional (etnis). Dalam masyarakat tradisional, individu-individu tidak terdapat kesenjangan nilai-nilai yang signifikan.
Proses komunikasi menempati posisi kritis pada tipe masyarakat multikultural. Dan, pada sisi inilah bangsa-bangsa Indonesia berada. Bangsa Indonesia memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Tidak hanya perbedaan etnis. Bangsa-bangsa Indonesia memiliki perbedaan status sosial, pandangan hidup, pendidikan, agama, golongan politik, dan berbagai golongan sosial lainnya. Proses komunikasi dalam masyarakat multikultural ini disebut heterophily.
Kondisi heterophily tersebut tampaknya diabaikan para oknum otoritas bangsa pascamerdeka dalam menciptakan sinergitas sistem sosial, budaya, politik, dan pemerintahan. Untuk mewujudkan komunikasi yang efektif; pihak otoritas melakukan pemaksaan transformasi heterophily ke homophily. Terjadi pembonsaian esensi multikultural. Dan sudah terjadi pada taraf yang elementer, yaitu: pendidikan konvensional. Para oknum otoritas memangkas keunikan-keunikan individu dengan tuntutan kurikulum dan normalitas yang menjauhi kemanusiaan.
Secara sederhana, pembonsaian itu disebut upaya penyeragaman. Maka terlihatlah, murid-murid sekolah memakai pakaian seragam dan mempelajari materi-materi yang seragam. Untuk menerapkan pembonsaian ini dibentuk pula berbagai hukuman sosial. Pada konteks yang lebih rumit dapat kita cermati dalam kebijakan antikoteka pada rezim Orde Baru. Koteka (holim) sebagai warisan leluhur saudara-saudara kita di Papua ditetapkan sebagai ‘pakaian tidak sehat, tidak sopan, dan tidak bermartabat’. Maka dijatuhkanlah berkarung-karung ‘pakaian sehat, sopan, dan bermartabat’ di Pegunungan Tengah sebagai basis koteka. Penduduk yang memakai koteka terlarang untuk naik angkutan umum. Bahkan sampai sekarang, diskriminasi ini masih berjalan.
Keseragaman menciptakan manusia-manusia bonsai (sebagaimana ilustrasi berikut ini). Keseragaman menjauhkan kita pada sikap toleransi. Keseragaman menciptakan manusia-manusia memiliki pola pikir yang sama, kesulitan memiliki alternatif pemikiran, dan miskin kreativitas. Keseragaman membentuk kita menjadi manusia yang serba patuh dan ketakutan. Keseragaman membentuk kita menjadi manusia yang manja, tidak inovatif, dan tergantung pada otoritas. Kejahatan (perang dan segala bentuk dehumanisasi) muncul karena kepatuhan, bukan karena sikap kritis atau kreatifitas yang diasumsikan sebagai pembangkangan karena menabrak zona aman. Keseragaman adalah indikasi pengkhianatan terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Menjauhkan kita dari perdamaian. Karena keseragaman menumbuhkan benih-benih inferior dan diskriminasi dalam diri individu. Bahkan, keruntuhan Kekaisaran Romawi diawali pemaksaan untuk menganut agama yang seragam.
Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal, yaitu Kristen. Bagaimana keseragaman disebut kemerdekaan? Lalu, apa sikap kita sebagai Gusdurian?
Pembangunan sosial tidak akan tumbuh tanpa jiwa-jiwa merdeka. Karena itu, kita harus mengembalikan konsep komunikasi di Indonesia pada tipe heterophily. Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) tidak dijadikan sebagai ideologi tertutup yang monointerpretasi. Tidak ada lagi klaim-klaim kebudayaan Nasional, melainkan semua kebudayaan di Indonesia yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang ‘universal’ adalah kebudayaan Nasional. Tidak ada lagi upaya kultus Nasional pada kebudayaan yang terbatas atau penyeragaman yang ugal-ugalan. Lagi pula, nilai-nilai lokalitas terbukti ampuh sebagai alat komunikasi untuk menciptakan perdamaian. Misalnya, hukum adat di Pulau Kei. Dari semua daerah di Maluku, pulau inilah yang paling lambat ‘tertular’ konflik berdarah di Ambon. Namun, pulau di Maluku Tenggara ini pula yang paling dulu bangkit dari amis darah Perang Saudara. Hukum adat ken sa faak mampu memulihkan luka dan dendam di Pulau Kei dalam kurun waktu ‘tiga bulan’. Bahkan, perdamaian di Pulau Kei tercipta tanpa bantuan pemerintah, aparat, maupun lembaga (organisasi) Hak Asasi Manusia Internasional.
Jadi terlihat, kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia harus kita angkat, kita lindungi, dan kita lestarikan untuk mewujudkan toleransi. Penghormatan pada kebudayaan daerah merupakan jalan terang perdamian. Karena itu, kita harus mengelupaskan ketakutan pada proses komunikasi yang heterophily dan menjembataninya dengan komunikasi antarbudaya.
Budaya Literasi
Bahasa adalah alat komunikasi yang utama. Melalui bahasa kita dapat menjalin relasi yang sehat, transfer ilmu pengetahuan, dan menebarkan kasih sayang. Tapi, melalui bahasa pula diskriminasi, penjajahan, dan perpecahan ditebarkan. Maka, untuk merealisasikan komunikasi antarbudaya dalam tipe komunikasi heterophily, kita dapat mengembangkan kebudayaan bahasa ke ranah konstruktif.
Kebudayaan bahasa ini lazim disebut budaya literasi.
Pengembangan budaya literasi menjadi langkah utama untuk menerobos hambatan budaya dan menciptakan proses komunikasi heterophily yang harmonis. Bila Anda tidak bisa memahami seseorang, mengapa Anda memaksakan cara pandang Anda? Karena itu, menjadi Gusdurian berarti kita harus memiliki kesadaran kolektif untuk haus pada kebenaran dan ilmu pengetahuan. Kehausan ini dapat kita salurkan dengan membaca buku dan aktif menulis. Dengan demikian, akan lahir jalinan komunikasi dan integritas visi perdamaian.
Anda bukan Gusdurian sejati bila Anda malas membaca buku dan menulis! Sejarah pun mencatat, kejayaan Islam ditandai dengan tradisi membaca dan menulis. Awal zaman kegelapan Islam ditandai dengan pemusnahan tradisi membaca dan menulis. Salah satu pemicunya, serangan Mongol dibawah pimpinan Timur Lenk. Khususnya dalam serangan ke Baghdad. Selain melakukan pembantaian pemimpin dan umat muslim, Mongol menghancurkan perpustakaan Islam. Kitab-kitab karya ahli ilmu pengetahuan dihanyutkan ke sungai Dajlah. Air sungai dihitamkan tinta para ilmuwan Islam. Umat muslim berjalan dalam keadaan buta: mengadopsi nilai-nilai yang tidak teruji dan rentan pada perpecahan.
Budaya literasi adalah pendidikan alternatif yang efektif dalam mewujudkan perdamaian. Buku dan pendukumentasian ilmu pengetahuan dalam tulisan dibutuhkan karena kapasitas mengingat manusia umum terbatas. Adanya teks akan menghindari kita dalam bahaya hegemoni, monointerpretasi, doktrin, dan dogma. Budaya literasi akan membukakan jalan dalam memperbaharui pemikiran dan strategi yang inovatif mewujudkan perdamaian.
Selain itu, perlu adanya pemberantasan buta aksara, pendirian perpustakan, dan pengembangan tradisi menulis di kawasan rawan konflik (masyarakat marginal). Dengan kemampuan membaca dan menulis, kaum yang lemah dapat mengembangkan kesadaran eksistensial dan kemandirian sosial-personal-spiritual. Sehingga, mereka dapat menyampaikan aspirasi (lisan dan tulisan). Implikasinya, aspirasi mereka menemukan tempat, didengarkan, dan dapat diperjuangkan.
Dapat kita simpulkan, komunikasi heterophily merupakan keniscayaan di Indonesia yang memiliki iklim budaya multikultur. Perlu adanya mekanisme komunikasi antarbudaya. Maka, mengagumi dan mempertahankan nilai-nilai perdamaian yang diretas Gus Dur tidak cukup dengan perdebatan teoritis di kalangan intelektual atau advokasi pada kaum marginal yang menggunakan hukum legal. Melainkan, harus ada tindakan yang dapat menyatukan kesadaran (awareness) kolektif dalam mewujudkan perdamaian. Pengembangan budaya literasi merupakan solusi sebagai langkah komunikasi antarbudaya untuk mengatasi hambatan komunikasi heterophily dan menggali kearifan lokal. Sehingga cahaya perdamaian yang diretas Gusdur tidak meredup, semakin kaya, menggurita, abadi, dan terus menginspirasi.
Oleh: Sulfiza Ariska*
* Penulis adalah pemenang II lomba esai Gus Dur & Perdamaian
Sumber; gusdurian.net
Komunikasi Antarbudaya di Indonesia
Proses komunikasi yang efektif akan terjadi bila komunikator dan komunikan memiliki derajat dan kapasitas yang sama yang disebut homophily. Di mana kedua aktor komunikasi kesadaran yang sama (equal) pada sisi norma, pengetahuan, dan aspek-aspek sosial lainnya. Semakin sederhana sebuah masyarakat, akan semakin efektif pula proses komunikasi. Masyarakat yang paling sederhana adalah keluarga inti (nuclear family). Kesederhanaan masih dalam tahap netral pada konteks masyarakat yang lazim kita asumsikan sebagai masyarakat tradisional (etnis). Dalam masyarakat tradisional, individu-individu tidak terdapat kesenjangan nilai-nilai yang signifikan.
Proses komunikasi menempati posisi kritis pada tipe masyarakat multikultural. Dan, pada sisi inilah bangsa-bangsa Indonesia berada. Bangsa Indonesia memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Tidak hanya perbedaan etnis. Bangsa-bangsa Indonesia memiliki perbedaan status sosial, pandangan hidup, pendidikan, agama, golongan politik, dan berbagai golongan sosial lainnya. Proses komunikasi dalam masyarakat multikultural ini disebut heterophily.
Kondisi heterophily tersebut tampaknya diabaikan para oknum otoritas bangsa pascamerdeka dalam menciptakan sinergitas sistem sosial, budaya, politik, dan pemerintahan. Untuk mewujudkan komunikasi yang efektif; pihak otoritas melakukan pemaksaan transformasi heterophily ke homophily. Terjadi pembonsaian esensi multikultural. Dan sudah terjadi pada taraf yang elementer, yaitu: pendidikan konvensional. Para oknum otoritas memangkas keunikan-keunikan individu dengan tuntutan kurikulum dan normalitas yang menjauhi kemanusiaan.
Secara sederhana, pembonsaian itu disebut upaya penyeragaman. Maka terlihatlah, murid-murid sekolah memakai pakaian seragam dan mempelajari materi-materi yang seragam. Untuk menerapkan pembonsaian ini dibentuk pula berbagai hukuman sosial. Pada konteks yang lebih rumit dapat kita cermati dalam kebijakan antikoteka pada rezim Orde Baru. Koteka (holim) sebagai warisan leluhur saudara-saudara kita di Papua ditetapkan sebagai ‘pakaian tidak sehat, tidak sopan, dan tidak bermartabat’. Maka dijatuhkanlah berkarung-karung ‘pakaian sehat, sopan, dan bermartabat’ di Pegunungan Tengah sebagai basis koteka. Penduduk yang memakai koteka terlarang untuk naik angkutan umum. Bahkan sampai sekarang, diskriminasi ini masih berjalan.
Keseragaman menciptakan manusia-manusia bonsai (sebagaimana ilustrasi berikut ini). Keseragaman menjauhkan kita pada sikap toleransi. Keseragaman menciptakan manusia-manusia memiliki pola pikir yang sama, kesulitan memiliki alternatif pemikiran, dan miskin kreativitas. Keseragaman membentuk kita menjadi manusia yang serba patuh dan ketakutan. Keseragaman membentuk kita menjadi manusia yang manja, tidak inovatif, dan tergantung pada otoritas. Kejahatan (perang dan segala bentuk dehumanisasi) muncul karena kepatuhan, bukan karena sikap kritis atau kreatifitas yang diasumsikan sebagai pembangkangan karena menabrak zona aman. Keseragaman adalah indikasi pengkhianatan terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Menjauhkan kita dari perdamaian. Karena keseragaman menumbuhkan benih-benih inferior dan diskriminasi dalam diri individu. Bahkan, keruntuhan Kekaisaran Romawi diawali pemaksaan untuk menganut agama yang seragam.
Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal, yaitu Kristen. Bagaimana keseragaman disebut kemerdekaan? Lalu, apa sikap kita sebagai Gusdurian?
Pembangunan sosial tidak akan tumbuh tanpa jiwa-jiwa merdeka. Karena itu, kita harus mengembalikan konsep komunikasi di Indonesia pada tipe heterophily. Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) tidak dijadikan sebagai ideologi tertutup yang monointerpretasi. Tidak ada lagi klaim-klaim kebudayaan Nasional, melainkan semua kebudayaan di Indonesia yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang ‘universal’ adalah kebudayaan Nasional. Tidak ada lagi upaya kultus Nasional pada kebudayaan yang terbatas atau penyeragaman yang ugal-ugalan. Lagi pula, nilai-nilai lokalitas terbukti ampuh sebagai alat komunikasi untuk menciptakan perdamaian. Misalnya, hukum adat di Pulau Kei. Dari semua daerah di Maluku, pulau inilah yang paling lambat ‘tertular’ konflik berdarah di Ambon. Namun, pulau di Maluku Tenggara ini pula yang paling dulu bangkit dari amis darah Perang Saudara. Hukum adat ken sa faak mampu memulihkan luka dan dendam di Pulau Kei dalam kurun waktu ‘tiga bulan’. Bahkan, perdamaian di Pulau Kei tercipta tanpa bantuan pemerintah, aparat, maupun lembaga (organisasi) Hak Asasi Manusia Internasional.
Jadi terlihat, kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia harus kita angkat, kita lindungi, dan kita lestarikan untuk mewujudkan toleransi. Penghormatan pada kebudayaan daerah merupakan jalan terang perdamian. Karena itu, kita harus mengelupaskan ketakutan pada proses komunikasi yang heterophily dan menjembataninya dengan komunikasi antarbudaya.
Budaya Literasi
Bahasa adalah alat komunikasi yang utama. Melalui bahasa kita dapat menjalin relasi yang sehat, transfer ilmu pengetahuan, dan menebarkan kasih sayang. Tapi, melalui bahasa pula diskriminasi, penjajahan, dan perpecahan ditebarkan. Maka, untuk merealisasikan komunikasi antarbudaya dalam tipe komunikasi heterophily, kita dapat mengembangkan kebudayaan bahasa ke ranah konstruktif.
Kebudayaan bahasa ini lazim disebut budaya literasi.
Pengembangan budaya literasi menjadi langkah utama untuk menerobos hambatan budaya dan menciptakan proses komunikasi heterophily yang harmonis. Bila Anda tidak bisa memahami seseorang, mengapa Anda memaksakan cara pandang Anda? Karena itu, menjadi Gusdurian berarti kita harus memiliki kesadaran kolektif untuk haus pada kebenaran dan ilmu pengetahuan. Kehausan ini dapat kita salurkan dengan membaca buku dan aktif menulis. Dengan demikian, akan lahir jalinan komunikasi dan integritas visi perdamaian.
Anda bukan Gusdurian sejati bila Anda malas membaca buku dan menulis! Sejarah pun mencatat, kejayaan Islam ditandai dengan tradisi membaca dan menulis. Awal zaman kegelapan Islam ditandai dengan pemusnahan tradisi membaca dan menulis. Salah satu pemicunya, serangan Mongol dibawah pimpinan Timur Lenk. Khususnya dalam serangan ke Baghdad. Selain melakukan pembantaian pemimpin dan umat muslim, Mongol menghancurkan perpustakaan Islam. Kitab-kitab karya ahli ilmu pengetahuan dihanyutkan ke sungai Dajlah. Air sungai dihitamkan tinta para ilmuwan Islam. Umat muslim berjalan dalam keadaan buta: mengadopsi nilai-nilai yang tidak teruji dan rentan pada perpecahan.
Budaya literasi adalah pendidikan alternatif yang efektif dalam mewujudkan perdamaian. Buku dan pendukumentasian ilmu pengetahuan dalam tulisan dibutuhkan karena kapasitas mengingat manusia umum terbatas. Adanya teks akan menghindari kita dalam bahaya hegemoni, monointerpretasi, doktrin, dan dogma. Budaya literasi akan membukakan jalan dalam memperbaharui pemikiran dan strategi yang inovatif mewujudkan perdamaian.
Selain itu, perlu adanya pemberantasan buta aksara, pendirian perpustakan, dan pengembangan tradisi menulis di kawasan rawan konflik (masyarakat marginal). Dengan kemampuan membaca dan menulis, kaum yang lemah dapat mengembangkan kesadaran eksistensial dan kemandirian sosial-personal-spiritual. Sehingga, mereka dapat menyampaikan aspirasi (lisan dan tulisan). Implikasinya, aspirasi mereka menemukan tempat, didengarkan, dan dapat diperjuangkan.
Dapat kita simpulkan, komunikasi heterophily merupakan keniscayaan di Indonesia yang memiliki iklim budaya multikultur. Perlu adanya mekanisme komunikasi antarbudaya. Maka, mengagumi dan mempertahankan nilai-nilai perdamaian yang diretas Gus Dur tidak cukup dengan perdebatan teoritis di kalangan intelektual atau advokasi pada kaum marginal yang menggunakan hukum legal. Melainkan, harus ada tindakan yang dapat menyatukan kesadaran (awareness) kolektif dalam mewujudkan perdamaian. Pengembangan budaya literasi merupakan solusi sebagai langkah komunikasi antarbudaya untuk mengatasi hambatan komunikasi heterophily dan menggali kearifan lokal. Sehingga cahaya perdamaian yang diretas Gusdur tidak meredup, semakin kaya, menggurita, abadi, dan terus menginspirasi.
Oleh: Sulfiza Ariska*
* Penulis adalah pemenang II lomba esai Gus Dur & Perdamaian
Sumber; gusdurian.net
Komentar