BAB II PROBLEMATIK METODOLOGI PENAFSIRAN DAN PEMAKNAAN AL-QUR’AN

A. Letak Urgensi Ilmu Tafsir
Secara sederhana, Ilmu Tafsir ialah suatu ilmu yang menangkap pesan di balik
‘bahasa” atau yang sering disebut sebagai ayat al-Qur’an. Dasar Ilmu Tafsir ialah kenyataan bahwa al-Qur’an berisi kata atau bahasa yang dapat dialih-bahasakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk lahiriah al-Qur’an itu bahasa verbal yang ditulis dengan huruf Arab. Dengan demikian dalam konvensi Ilmu Tafsir, al-Qur’an dipahami dalam konteks bahasa  yang dalam batas tertentu juga di dasarkan atas kaidah gramatika bahasa Arab.
Oleh karena setiap kata ataupun kalimat dalam suatu sistem bahasa mengandung konsepsi atau pesan, maka untuk memahami isi kandungan al-Qur’an, orang harus mengartikan bahasa al-qur’an ke dalam bahasa budaya. Metode Ilmu Tafsir pada umumnya mengasumsikan bahasa al-Qur’an sebagai bahasa Arab atau bahasa khas al-Qur’an yang mirip dengan bahasa Arab.
Apakah al-Qur’an itu bahasa Arab atau bahasa khas Qur’ani, terdapat selisih paham. Tetapi jelas bahwa al-Qur’an yang kita warisi saat ini berisi kumpulan tulisan Arab. Ayat atau surat yang terkandung dalam al-Qur’an  itu di tulis dengan huruf Arab, dan baik ayat ataupun surat dalam al-Qur’an mencerminkan suatu bentuk bahasa yang dapat diterjemahkan ke dalam  bahasa budaya (konvensi).
Terlepas apakah ada anjuran bagi kita untuk menerjemahkan bahasa al-Qur’an atau tidak, tetapi penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an telah dilakukan umat Islam sejak berabad-abad lamanya. Betapapun banyak ayat ataupun nama surat, yang dalam kaidah bahasa Arab tidak dapat diterjemahkan secara pasti, tetapi sebagian besar ayat dan nama surat dalam al-Qur’an  telah dapat dialih-bahasakan sehingga dapat ditangkap makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Apakah makna al-Qur’an yang sebenarnya terletak pada pesan yang terkandung dalam bahasa atau ayatnya, sebagaimana dikembangkan Ilmu Tafsir, tidak ada kata pasti untuk menjawab soal ini. Tetapi, justru melalui Ilmu Tafsir, umat Islam telah memperoleh berbagai informasi, baik informasi itu berisi ilmu, hokum, cerita, ataupun pesan-pesan moral.
Hasil olah-pikir umat Islam yang didasarkan atas teks-teks al-Qur’an, juga telah melahirkan berbagai spekulasi keilmuan seperti Politik Islam, Ekonomi Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagainya. Melalui penerjemahan ayat ke dalam bahasa budaya, al-Qur’an telah melahirkan berbagai pengetahuan, seperti :

1. Hukum Atau Syariat
Disiplin ini kurang lebih berisi suatu rumusan mengenai bagaimana seharusnya manusia berbuat dan berprilaku, baik di hadapan sesame manusia maupun di hadapan Tuhan. Syariat mengandaikan bahwa al-Qur’an berisi kaidah-kaidah hukum positif  mangenai larangan dan sanksi, kepatuhan dan insentif (pahala), dan pesan etika atau teori moral tentang bagaimana manusia berbuat baik antar sesame manusia di dalam kehidupan.

2. Kisah Masa Lampau
Penerjemahan ayat al-Qur’an akan menghantarkan kita pada berbagai cerita tentang peristiwa peradaban masa lampau, yang kemudian dapat dijadikan simbol dan cermain kehidupan masa kini. Meskipun peristiwa masa lampau yang banyak diceritakan dalam al-Qur’an lebih bersifat simbolik, karena berada di luar jangkauan metodologi sejarah kontemporer, tetapi kisah-kisah dalam al-Qur’an cukup bermanfaat bagi kehidupan kita pada saat ini. Memeng, keseluruhancerita dalam al-Qur’an lebih arif jika ditangkap sebagai peristiwa simbolik, yang dasar obyektifnya barangkali tidak perlu dipermasalahkan. Dengan demikian, kita akan berurusan dengan bagaimana dan apa makna kisah-kisah dalam al-Qur’an itu dalam konteks kehidupan sekarang.

3. Semangat Bereksplorasi
Banyak ayat al-Qur’an yang berisi dorongan imperatif bagi umat untuk melakukan eksplorasi dan pemahaman mengenai alam semesta, jati diri, dan masyarakat serta kebudayaannya. Dengan kata lain, jika diterjemahkan ke dalam bahasa kita, banyak ayat al-Qur’an yang berisi dorongan moralitas bagi manusia untuk mengembangkan segi-segi keilmuan, dan meningkatkan kemampuan intelektualitas dalam menghadapi alam semesta dan kehidupan masyarakat.

4. Semangat Ketauladanan
Ayat al-Qur’an sarat dengan anjuran bagi manusia untuk belajar dari masa lampau. Untuk dapat menyelamatkan peradabannya, manusia mutlak perlu belajar dari pengalaman peradaban masa silam, khususnya aspek perilaku marol dan etika. Semangat ketauladanan, baik terhadap kehidupan seorang Muhammad dan masyarakatnya, maupun kehidupan masyarakat dengan peradaban lain, menjadi tema yang ditekankan dalam al-Qur’an, dalam kerangka perbaikan dan kebaikan kehidupan manusia di masa depan.
Jelaslah di sini bahwa letak urgensi Ilmu Tafsir yang paling menonjol pada kemampuannya menangkap pesan di balik kosa kata atau bahasa al-Qur’an, baik pesan keilmuan, etika, cerita, maupun moralitas. Itupun tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dan “berhasil” diinterpretasikan ke dalam pemahan kita secara utuh.
Namun demikian,penelaahan al-Qur’an melalui Metode Tafsir Ayat, cenderung bersifat reduksionis. Sebab, jika al-Qur’an hanya diperlakukan sebagai kumpulan ayat yang kemudian “harus diterjemahkan” ke dalam bahasa konvensi, maka telah selesailah al-Qur’an dipelajari. Sementara itu, bagaimana dengan kenyataan fenomena lain yang tertera di dalam al-Qur’an, misalnya fenomena surat yang jumlahnya 114 atau fenomena juz yang jumlahnya 30. Dengan demikian, Metode Tafsir Ayat nampak bersifat segmentaristik.
Melalui Metode Ilmu Tafsir Ayat, kita tidak bisa berharap dapat menangkap magna atau arti di balik fenomena selain ayat. Sebab Ilmu Tafsir Ayat tidak pernah menganggap fenomena selain ayat sebagai dimensi al-Qur’an yang memiliki pesan-pesan keilmuan. Dan di sinilah letak “kelemahan” dalam Metodologi Ilmu Tafsir Ayat. Jangankan untuk menangkap pesan keilmuan di balik fenomena juz, surat, atau fenomena lainnya, sedangkan terhadap fenomena ayatpun, Ilmu Tafsir “tidak” mampu menangkapnya secara keseluruhan.