A. Letak Urgensi Ilmu Tafsir
Secara sederhana, Ilmu Tafsir ialah suatu
ilmu yang menangkap pesan di balik
‘bahasa” atau yang sering disebut sebagai
ayat al-Qur’an. Dasar Ilmu Tafsir ialah kenyataan bahwa al-Qur’an berisi kata
atau bahasa yang dapat dialih-bahasakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk
lahiriah al-Qur’an itu bahasa verbal yang ditulis dengan huruf Arab. Dengan
demikian dalam konvensi Ilmu Tafsir, al-Qur’an dipahami dalam konteks
bahasa yang dalam batas tertentu juga di
dasarkan atas kaidah gramatika bahasa Arab.
Apakah al-Qur’an itu bahasa Arab atau
bahasa khas Qur’ani, terdapat selisih paham. Tetapi jelas bahwa al-Qur’an yang
kita warisi saat ini berisi kumpulan tulisan Arab. Ayat atau surat yang
terkandung dalam al-Qur’an itu di tulis
dengan huruf Arab, dan baik ayat ataupun surat dalam al-Qur’an mencerminkan
suatu bentuk bahasa yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa budaya (konvensi).
Terlepas apakah ada anjuran bagi kita untuk
menerjemahkan bahasa al-Qur’an atau tidak, tetapi penerjemahan dan penafsiran
al-Qur’an telah dilakukan umat Islam sejak berabad-abad lamanya. Betapapun
banyak ayat ataupun nama surat, yang dalam kaidah bahasa Arab tidak dapat
diterjemahkan secara pasti, tetapi sebagian besar ayat dan nama surat dalam
al-Qur’an telah dapat dialih-bahasakan
sehingga dapat ditangkap makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Apakah
makna al-Qur’an yang sebenarnya terletak pada pesan yang terkandung dalam
bahasa atau ayatnya, sebagaimana dikembangkan Ilmu Tafsir, tidak ada kata pasti
untuk menjawab soal ini. Tetapi, justru melalui Ilmu Tafsir, umat Islam telah
memperoleh berbagai informasi, baik informasi itu berisi ilmu, hokum, cerita,
ataupun pesan-pesan moral.
Hasil olah-pikir umat Islam yang didasarkan
atas teks-teks al-Qur’an, juga telah melahirkan berbagai spekulasi keilmuan
seperti Politik Islam, Ekonomi Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagainya. Melalui
penerjemahan ayat ke dalam bahasa budaya, al-Qur’an telah melahirkan berbagai
pengetahuan, seperti :
1. Hukum Atau Syariat
Disiplin ini kurang lebih berisi suatu
rumusan mengenai bagaimana seharusnya manusia berbuat dan berprilaku, baik di
hadapan sesame manusia maupun di hadapan Tuhan. Syariat mengandaikan bahwa
al-Qur’an berisi kaidah-kaidah hukum positif
mangenai larangan dan sanksi, kepatuhan dan insentif (pahala), dan pesan
etika atau teori moral tentang bagaimana manusia berbuat baik antar sesame
manusia di dalam kehidupan.
2. Kisah Masa Lampau
Penerjemahan ayat al-Qur’an akan
menghantarkan kita pada berbagai cerita tentang peristiwa peradaban masa
lampau, yang kemudian dapat dijadikan simbol dan cermain kehidupan masa kini.
Meskipun peristiwa masa lampau yang banyak diceritakan dalam al-Qur’an lebih
bersifat simbolik, karena berada di luar jangkauan metodologi sejarah
kontemporer, tetapi kisah-kisah dalam al-Qur’an cukup bermanfaat bagi kehidupan
kita pada saat ini. Memeng, keseluruhancerita dalam al-Qur’an lebih arif jika
ditangkap sebagai peristiwa simbolik, yang dasar obyektifnya barangkali tidak
perlu dipermasalahkan. Dengan demikian, kita akan berurusan dengan bagaimana
dan apa makna kisah-kisah dalam al-Qur’an itu dalam konteks kehidupan sekarang.
3. Semangat Bereksplorasi
Banyak ayat al-Qur’an yang berisi dorongan
imperatif bagi umat untuk melakukan eksplorasi dan pemahaman mengenai alam
semesta, jati diri, dan masyarakat serta kebudayaannya. Dengan kata lain, jika
diterjemahkan ke dalam bahasa kita, banyak ayat al-Qur’an yang berisi dorongan
moralitas bagi manusia untuk mengembangkan segi-segi keilmuan, dan meningkatkan
kemampuan intelektualitas dalam menghadapi alam semesta dan kehidupan
masyarakat.
4.
Semangat Ketauladanan
Ayat al-Qur’an sarat dengan anjuran bagi
manusia untuk belajar dari masa lampau. Untuk dapat menyelamatkan peradabannya,
manusia mutlak perlu belajar dari pengalaman peradaban masa silam, khususnya
aspek perilaku marol dan etika. Semangat ketauladanan, baik terhadap kehidupan
seorang Muhammad dan masyarakatnya, maupun kehidupan masyarakat dengan
peradaban lain, menjadi tema yang ditekankan dalam al-Qur’an, dalam kerangka
perbaikan dan kebaikan kehidupan manusia di masa depan.
Jelaslah di sini bahwa letak urgensi Ilmu
Tafsir yang paling menonjol pada kemampuannya menangkap pesan di balik kosa
kata atau bahasa al-Qur’an, baik pesan keilmuan, etika, cerita, maupun
moralitas. Itupun tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dan “berhasil”
diinterpretasikan ke dalam pemahan kita secara utuh.
Namun demikian,penelaahan al-Qur’an melalui
Metode Tafsir Ayat, cenderung bersifat reduksionis. Sebab, jika al-Qur’an hanya
diperlakukan sebagai kumpulan ayat yang kemudian “harus diterjemahkan” ke dalam
bahasa konvensi, maka telah selesailah al-Qur’an dipelajari. Sementara itu,
bagaimana dengan kenyataan fenomena lain yang tertera di dalam al-Qur’an,
misalnya fenomena surat yang jumlahnya 114 atau fenomena juz yang jumlahnya 30.
Dengan demikian, Metode Tafsir Ayat nampak bersifat segmentaristik.
Melalui Metode Ilmu Tafsir Ayat, kita tidak
bisa berharap dapat menangkap magna atau arti di balik fenomena selain ayat.
Sebab Ilmu Tafsir Ayat tidak pernah menganggap fenomena selain ayat sebagai
dimensi al-Qur’an yang memiliki pesan-pesan keilmuan. Dan di sinilah letak
“kelemahan” dalam Metodologi Ilmu Tafsir Ayat. Jangankan untuk menangkap pesan
keilmuan di balik fenomena juz, surat, atau fenomena lainnya, sedangkan
terhadap fenomena ayatpun, Ilmu Tafsir “tidak” mampu menangkapnya secara
keseluruhan.