Defenisi
Untuk merumuskan makna al-Qur’an secara lebih arif dan berhati-hati, dalam
hubungan ini perlu kiranya dilakukan pembedaan antara makna formal dengan makna
esensial. Dalam pengertian formal, al-Qur’an
dapat dipahami sebagai sebuah kitab, atau lembaran kertas terjilid, dan
tertulis di dalamnya diktum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dipercayai
sebagai wahyu Allah. Tulisan yang dalam kitab atau lembaran kertas tersebut,
apabila dipahami sebagai suatu bahasa yang dapat diterjemahkan, berisi pesan
moral, hukum, etika, dan kisah sejarah kehidupan
manusia di masa lampau.
Dalam pengertian esensial,
al-Qur’an adalah manusia atau alam semesta itu sendiri. Bukankah dalam kitab
yang tertulis itu, terdapat berbagai suratan yang menggambarkan struktur
kosmik, seperti: matahari, sapi betina, binatang ternak, rembulan, manusia,
batu, bintang, rembulan, dan sebagainya.
Dengan demikian, makna
formal al-Qur’an merujuk pada tulisan atau sandi tertulis, yang esensi maknanya
hanya bersifat simbolik. Sedangkan makna esensial al-Qur’an merujuk pada
benda-benda kosmik dan manusia beserta pengalaman hidupnya yang bersifat
obyektif-empirik. Kategorisasi pengertian semacam ini nampaknya cukup
bermanfaat untuk memberikan makna al-Qur’an
secara ganda.
Hubungan al-Qur’an sebagai
kitab yang berisi sandi tertulis, dengan alam semesta dan manusia, bagaikan hubungan
antara ide dan realitas. Oleh karena itu, kedua pemaknaan tersebut nampaknya
tidak dapat dipisahkan secara ekstrim, sebagaimana dalam pengalaman hidup
sehari-hari, antara ide dan realitas tidak dapat dipisahkan secara ketat.
Antara kata dan benda merupakan dua hal yang saling mewakili. Demikian juga,
antara sandi atau simbol dengan realitas bendawi yang diwakilinya terkait satu
sama lain dalam benak manusia.
Sampai di sini jelaslah,
bahwa al-Qur’an berisi gambaran tentang manusia dan alam semesta. Pernyataan
ini dapat dibuktikan secara logis tidan dengan cara menerjemahkan ayat yang ada
di dalamnya, tetapi dengan cara melakukan interpretasi terhadap susunan atau
format al-qur’an itu sendiri.
Susunan al-qur’an,
sebagaimana kita kenal terdiri atas 114 surat, 6236 ayat, dan 30 juz itu,
merupakan gambaran tentang alam semesta atau jagat-gede (macro-cosmos) dan gambaran tentang jati diri seorang
manusia atau jagat-cilik (micro-cosmos).
Studi tentang mushaf atau
aspek simbolik format al-Qur’an hampir tidak pernah dilakukan oleh oleh para
ahli tafsir, sebab studi al-Qur’an pada umumnya didasarkan atas asumsi, bahwa
al-Qur’an merupakan kitab berisi kumpulan ayat atau bahasa verbal. Asumsi ini
mengandaikan bahwa susunan atau format al-Qur’an bukanlah bagian terpenting
dari al-Qur’an yang perlu dipelajari.
Sebagai implikasi dari
pemahaman demikian, maka pertama kali yang dilakukan dalam studi al-Qur’an pada
umumnya menerjemahkan ayat, atau kalimat dan kata yang ada di dalamnya, bukan
mempelajari format al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qur’an tidak pernah
diasumsikan sebagai kitab yang berisi susunan sandi tertulis.
Pemahaman seperti di atas
tidaklah salah, sebab dalam kenyataan lahiriah, al-Qur’an memang sebagian besar
berisi kata-kata atau kalimat verbal yang dapat dipahami melalui penerjemahan.
Atas dasar itulah maka sebuah Ilmu Tafsir al-Qur’an lahir, sebagai disiplin
yang cukup kokoh. Dalam konteks ini, tidak ada maksud untuk mengurangi arti
pentingnya metodologi ilmu tafsir konvensional yang telah menjadi bagian dari
tradisi pemahaman umat Islam tentang al-Qur’an.
Warisan tradisi pemahaman al-Qur’an,
sebagaimana tercermin dalam Ilmu Tafsir, masih tetap relevan sebagai “salah
satu” (bukan satu-satunya) bentuk pemahaman kita tentang Kalamullah yang agung itu. Oleh karena itu, studi tentang format
al-Qur’an sebaiknya juga dilakukan dan dikembangkan sebagai suatu metodologi
alternative.
Penelaahan dan riset mengenai format
al-Qur’an secara mendalam nampaknya penting dilakukan, sebab al-Qur’an disusun
dan ditulis berdasarkan ilmu. Mustahil penyusunan al-Qur’an dilakukan secara
asal-asalan tanpa ilmu. Dilihat dari formatnya yang unik, tidak diragukan lagi,
al-Qur’an disusun berdasarkan suatu Ilmu, atau”model rasionalitas” dan
pemikiran filosofis tertentu.
Bahkan untuk tidak terkesan memandang
rendah susunan al-Qur’an, kita dapat berasumsi bahwa susunan al-Qur’an itu
sendiri merupakan bagian dari “guiding” atau “wahyu” yang diberikan kepada Nabi
Muhammad, atau bisa jadi kepada orang yang menyusunnya. Jika asumsi ini benar,
maka studi tentang susunan al-Qur’an
memiliki dasar yang lebih otentik. Artinya, mempelajari format al-Qur’an
berarti juga mempelajari bagian dari wahyu Allah.
Kajian ini akan menyajikan berbagai
data mengenai hasil riset al-Qur’an yang telah dilakukan melalui suatu kerangka
metodologi baru, yaitu suatu metodologi yang menempatkan keseluruhan fenomena
simbolik dalam al-Qur’an sebagai pusat analisis. Melalui pendekatan ini, kita
akan memahami al-Qur’an dengan cara menelaah berbagai simbol yang tertera dalam
al-Qur’an, yang selama ini luput dari perhatian umat Islam.
Komentar