FENOMENALOGI AL-QUR'AN; BAB I PENDAHULUAN RUANG LINGKUP PENULISAN


Defenisi
Betapa sulit al-Qur’an itu didefinisikan. Selalu ada saja dimensi makna yang hilang apabila kita mencoba mendefinisikan al-Qur’an dengan suatu rumusan kata atau kalimat. Pendefinisian memang cenderung membatasi dan mereduksi makna yang sebenarnya. Akan tetapi tanpa suatu definisi yang edukuat, kita akan mengalami kesulitan juga untuk membangun sebuah konsep dan pemahaman yang tepat.

          Untuk merumuskan makna al-Qur’an secara lebih arif dan berhati-hati, dalam hubungan ini perlu kiranya dilakukan pembedaan antara makna formal dengan makna esensial. Dalam pengertian formal, al-Qur’an dapat dipahami sebagai sebuah kitab, atau lembaran kertas terjilid, dan tertulis di dalamnya diktum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dipercayai sebagai wahyu Allah. Tulisan yang dalam kitab atau lembaran kertas tersebut, apabila dipahami sebagai suatu bahasa yang dapat diterjemahkan, berisi pesan moral, hukum, etika, dan kisah sejarah kehidupan manusia di masa lampau.

Dalam pengertian esensial, al-Qur’an adalah manusia atau alam semesta itu sendiri. Bukankah dalam kitab yang tertulis itu, terdapat berbagai suratan yang menggambarkan struktur kosmik, seperti: matahari, sapi betina, binatang ternak, rembulan, manusia, batu, bintang, rembulan, dan sebagainya.      
 
Dengan demikian, makna formal al-Qur’an merujuk pada tulisan atau sandi tertulis, yang esensi maknanya hanya bersifat simbolik. Sedangkan makna esensial al-Qur’an merujuk pada benda-benda kosmik dan manusia beserta pengalaman hidupnya yang bersifat obyektif-empirik. Kategorisasi pengertian semacam ini nampaknya cukup bermanfaat untuk memberikan makna al-Qur’an  secara ganda.
Hubungan al-Qur’an sebagai kitab yang berisi sandi tertulis, dengan alam semesta dan manusia, bagaikan hubungan antara ide dan realitas. Oleh karena itu, kedua pemaknaan tersebut nampaknya tidak dapat dipisahkan secara ekstrim, sebagaimana dalam pengalaman hidup sehari-hari, antara ide dan realitas tidak dapat dipisahkan secara ketat. Antara kata dan benda merupakan dua hal yang saling mewakili. Demikian juga, antara sandi atau simbol dengan realitas bendawi yang diwakilinya terkait satu sama lain dalam benak manusia.

Sampai di sini jelaslah, bahwa al-Qur’an berisi gambaran tentang manusia dan alam semesta. Pernyataan ini dapat dibuktikan secara logis tidan dengan cara menerjemahkan ayat yang ada di dalamnya, tetapi dengan cara melakukan interpretasi terhadap susunan atau format al-qur’an itu sendiri.
Susunan al-qur’an, sebagaimana kita kenal terdiri atas 114 surat, 6236 ayat, dan 30 juz itu, merupakan gambaran tentang alam semesta atau jagat-gede (macro-cosmos) dan gambaran tentang jati diri seorang manusia atau jagat-cilik (micro-cosmos).

Studi tentang mushaf atau aspek simbolik format al-Qur’an hampir tidak pernah dilakukan oleh oleh para ahli tafsir, sebab studi al-Qur’an pada umumnya didasarkan atas asumsi, bahwa al-Qur’an merupakan kitab berisi kumpulan ayat atau bahasa verbal. Asumsi ini mengandaikan bahwa susunan atau format al-Qur’an bukanlah bagian terpenting dari al-Qur’an yang perlu dipelajari.

Sebagai implikasi dari pemahaman demikian, maka pertama kali yang dilakukan dalam studi al-Qur’an pada umumnya menerjemahkan ayat, atau kalimat dan kata yang ada di dalamnya, bukan mempelajari format al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qur’an tidak pernah diasumsikan sebagai kitab yang berisi susunan sandi tertulis.
Pemahaman seperti di atas tidaklah salah, sebab dalam kenyataan lahiriah, al-Qur’an memang sebagian besar berisi kata-kata atau kalimat verbal yang dapat dipahami melalui penerjemahan. Atas dasar itulah maka sebuah Ilmu Tafsir al-Qur’an lahir, sebagai disiplin yang cukup kokoh. Dalam konteks ini, tidak ada maksud untuk mengurangi arti pentingnya metodologi ilmu tafsir konvensional yang telah menjadi bagian dari tradisi pemahaman umat Islam tentang al-Qur’an.

Warisan tradisi pemahaman al-Qur’an, sebagaimana tercermin dalam Ilmu Tafsir, masih tetap relevan sebagai “salah satu” (bukan satu-satunya) bentuk pemahaman kita tentang Kalamullah yang agung itu. Oleh karena itu, studi tentang format al-Qur’an sebaiknya juga dilakukan dan dikembangkan sebagai suatu metodologi alternative.

Penelaahan dan riset mengenai format al-Qur’an secara mendalam nampaknya penting dilakukan, sebab al-Qur’an disusun dan ditulis berdasarkan ilmu. Mustahil penyusunan al-Qur’an dilakukan secara asal-asalan tanpa ilmu. Dilihat dari formatnya yang unik, tidak diragukan lagi, al-Qur’an disusun berdasarkan suatu Ilmu, atau”model rasionalitas” dan pemikiran filosofis tertentu.

Bahkan untuk tidak terkesan memandang rendah susunan al-Qur’an, kita dapat berasumsi bahwa susunan al-Qur’an itu sendiri merupakan bagian dari “guiding” atau “wahyu” yang diberikan kepada Nabi Muhammad, atau bisa jadi kepada orang yang menyusunnya. Jika asumsi ini benar, maka studi tentang susunan al-Qur’an  memiliki dasar yang lebih otentik. Artinya, mempelajari format al-Qur’an berarti juga mempelajari bagian dari wahyu Allah.

Kajian ini akan menyajikan berbagai data mengenai hasil riset al-Qur’an yang telah dilakukan melalui suatu kerangka metodologi baru, yaitu suatu metodologi yang menempatkan keseluruhan fenomena simbolik dalam al-Qur’an sebagai pusat analisis. Melalui pendekatan ini, kita akan memahami al-Qur’an dengan cara menelaah berbagai simbol yang tertera dalam al-Qur’an, yang selama ini luput dari perhatian umat Islam.

Komentar