Upaya intelektual umat Islam untuk memahami dan menghayati apa yang
disebut sebagai Kalamullah. Dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami
dinamika internal yang cukup panjang. Metodologi Ilmu Tafsir misalnya, juga
pernah mengalami pergulatan epistemology yang cukup mendasar. Hal ini
menunjukkan suatu bukti bahwa kelemahan interen dalam suatu kerangka metodologi
pemahaman tentang al-Qur’an selalu ada.
Dalam setiap usaha untuk memahami aspek-aspek kebenaran al-Qur’an (Kalam
Ilahi) yang tak ada batasnya itu, umat Islam telah diliputi oleh pergulatan
intelektual yang
cukup serius, betapapun pergulatan tersebut muncul dalam tataran persepsi, atau pada
pemahaman metodologisnya, dan bukan pada kesaksian atas kebenaran al-Qur’an itu
sendiri.
Dapat diajukan suatu contoh di sini, misalnya perdebatan mengenai
kedudukan akal-pikiran manusia berhadapan dengan al-Qur’an atau wahyu.
Persoalan yang muncul? Sejauh mana keabsahan akal dan rasio manusia dalam
memahami ayat al-Qur’an; apakah ada kapasitas yang cukup bagi akal manusia
untuk menangkap seluruh dimensi pewahyuan Tuhan, dalam hal ini ayat al-Qur’an;
apakah ada porsi yang cukup bagi pikiran manusia untuk memahami dan
menerjemahkan ayat Tuhan.
Perdebatan semacam ini cukup serius, dan bagi yang bersikap
hati-hati, akan berkesimpulan bahwa al-Qur’an itu tak dapat diterjemahkan,
apalagi diinterpretasi oleh pikiran manusia. Dengan dasar ini maka al-Qur’an
tak boleh dan tak bisa diterjemahkan, sehingga al-Qur’an hanya dapat dijadikan
bacaan, atau semacam mantera-mantera yang penuh mistis dan magis.
Dalam perdebatan Metodologi Ilmu Tafsir, muncul juga masalah kedudukan
hadits dalam usaha menerjemahkan ayat. Dengan asumsi bahwa hanya Nabi
Muhammad-lah satu-satunya orang yang memiliki
otoritas untuk menerjemahkan ayat al-Qur’an, maka penafsiran al-Qur’an
haruslah dilakukan melalui hadits. Penafsiran ayat dengan hadits merupakan
upaya alternative terhadap kelompok rasionalis yang menjunjung tinggi peranan akal dan
kapasitas pikiran manusia dalam memahami ayat al-Qur’an.
Tetapi persoalan kemudian, sejauh mana kesahihan suatu hadits itu. Dalam
kenyataan, banyak hadits yang dalam kriteria dan penilaian sebagian para ulama
dianggap tidak sahih. Dan dalam kenyataan sejarah, banyak orang yang kemudian
tidak percaya kepada hadits. Persoalan kesahihan suatu hadits sendiri sudah
menjadi agenda studi yang cukup memakan waktu, yang kemudian muncul Ilmu
Musthalah Hadits.
Masih dalam kerangka perdebatan pemaknaan al-Qur’an, para ahli sufi
kemudian juga memiliki cara tersendiri dalam memberikan makna pada ayat
al-Qur’an. Penafsiran dan pemaknaan para ahli sufi mengenai al-Qur’an terletak
pada aspek spiritualitas atau dimensi batin dari al-Qur’an itu sendiri.
Tafsir sufi menempatkan pengalaman spiritual bacaan al-Qur’an sebagai dasar untuk
menerjemahkan al-Qur’an ke dalam terma-terma sufi yang khas dan rumit. Para
sufi menempatkan al-Qur’an sebagai wirid atau sarana spiritual, dan makna
spiritualnya terletak pada masing-masing subyek yang membacanya. Dengan
metodologi ini, maka pengalaman mistis membaca al-Qur’an itulah dasar pemaknaan
al-Qur’an yang sebenarnya.
Dari uraian diatas, dapatlah dilihat betapa sebenarnya umat Islam
memiliki kebebasan dan peluang besar untuk mengembangkan pemahamannya tentang
al-Qur’an, sejalan dengan kapasitas intelektual dan spiritualnya, yang
betapapun ada batasnya, tetapi batas tersebut tidak dapat dilihat secara parsial. Banyak jalan yang dapat
ditempuh manusia untuk melakukan eksplorasi guna memahami segi kebenaran
Ilahi yang tak ada batasnya itu.