MULTIKULTURALISME; Wawasan Alternatif Mengelola Perbedaan


Menjalankan misi agama di Indonesia, harus memahami bahwa kondisi negeri ini yang plural dengan berbagai agama, keyakinan, suku bangsa dan budaya yang berbeda-beda. Bahkan menurut Cliffort Geertz, sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis. Negeri ini bukan saja multi-etnis (Dayak, Kutai, Makassar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Flores, Bali, Banjar, dst.), tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh multi-mental dan ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme dst.)
Oleh karena itu, di Indonesia membutuhkan kerja-kerja agama yang tepat sesuai dengan keniscayaan multikultur. Sehingga yang menjadi titik fokusnya adalah, bagaimana tugas-tugas agama itu bisa diimplementasikan di negara yang berasaskan Pancasila ini. Sebab pandangan umum di antara kelompok agama adalah hanya ada satu agama dan tradisi-tradisi lainnya salah dan tidak berharga. Argument antipluralis ini muncul di tengah perbedaan agama manusia. Problem antipluralis bisa dirumuskan seperti ini; suatu agama yang didasarkan pada kebenaran wahyu utama yang menyelamatkan tidak akan bisa memandang agama lain yang mengingkari kebenaran itu sebagai agama yang berharga. Jadi, setiap agama memandang dirinya sebagai satu-satunya agama sejati dan memandang agama lain tak ternilai. Dengan kata lain, tidak ada ruang bagi pluralisme dan multikulturalisme agama.
Demikian halnya di Indonesia, di tengah beragamnya agama, keyakinan, suku bangsa dan budaya, muncul kelompok-kelompok ekslusif, yang kehadiran mereka dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkis untuk membendung lajunya keberagaman. Dan ironisnya lagi negara seringkali tidak tegas ketika menghadapi konflik horisontal yang melibatkan dua atau lebih kelompok masyarakat (etnis atau agama).
Padahal keragaman yang terdapat di Indonesia bukanlah suatu realitas yang baru dibentuk, namun sudah sejak lama dikenal, diakui dan dikukuhkan. Bahkan para pendiri bangsa (Founding Fathers) kemudian menetapkan ke-Indonesia-an sebagai “Bhineka Tunggal Ika”. Sampai pada akhirnya, keanekaan Indonesia ini kemudian dikenali, diakui dan dikukuhkan di dalam UUD 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat ini. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa pondasi utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah keberagaman. Dasar inilah yang kemudian tidak boleh diabaikan oleh setiap penghuni negeri ini.
Hal mendasar sehingga terjadinya sentiment agama diawali oleh dakwah yang dimaknai sebagai upaya untuk memperbanyak kuantitas orang Islam yang meniscayakan adanya upaya untuk mengajak orang untuk beragama (berpindah agama) Islam. Demikian halnya misionaris dimaknai sebagai upaya untuk memperbanyak kuantitas umat Kristen yang juga meniscayakan upaya mengajak orang untuk beragama (berpindah agama) Kristen. Padahal pendekatan truth-claim (klaim kebenaran) dogmatis dalam agama, serta pendekatan sentralistik dan segregatif dalam dakwah dan misi selama ini kurang mempertimbangkan keunikan lokal indigenous dengan nilai sosial budayanya yang kaya dan beragam, sehingga kurang memberi ruang bagi tumbuhnya apresiasi terhadap budaya-budaya “yang lain” (the others). Pendekatan semacam ini perlu diubah menjadi pendekatan desegregasi, toleransi dan apresiasi yang mengajarkan kepada penganut agama untuk menghargai dan mengembangkan potensi dan sumber daya sosial-budaya yang ada dalam komunitasnya masing-masing, namun pada saat yang sama mereka juga mampu mengenali dan mengapresiasi budaya-budaya lain yang berbeda.
Hal demikian membuat dakwah/misi menjadi permasalahan sosial tersendiri. Dakwah/missi yang demikian dapat menimbulkan adanya tarik-menarik kepentingan yang berujung pada munculnya sentimen dan kebencian antar kelompok. Ironis, missi/dakwah yang seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan sosial justru menjadi permasalahan baru, yaitu permasalahan yang tidak gampang penyelesaiannya karena sudah mengarah pada ranah keyakinan dan ideologi.
Peristiwa Ambon (yang sebenarnya tidak perlu kita ingat) merupakan kenangan buruk umat beragama, serta yang belum lama terjadi, yakni peristiwa “Monas Berdarah”, konflik aktivis Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berekspresi (AKKBB) dengan Ormas Islam lainnya, FPI (Front Pembela Islam). Lebih dekat lagi, kasus penikaman/penganiayaan terhadap pemuka agama Kristen di Bekasi yang membuat suasana keberagaman menjadi keruh, meski hingga saat ini belum diketahui motif utamanya. Dan tidaklah akan selesai kalau seandainya dakwah/misi masih bermainstream seperti di atas. Hal ini pula yang membuat penulis berharap adanya pembentukan (de)ideologi dakwah/missi dan menjadikan multikulturalisme sebagai wawsn alternatif mengelola perbedaan. Sebuah paham yang bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.

Oleh: Taufik Bilfagih, S. Sos
(Mahasiswa Pascasarjana UNSRAT)

Komentar