DEIDEOLOGI DAKWAH

DEIDEOLOGI DAKWAH
September 11th, 2007 by antaramanusia
DEIDEOLOGI DAKWAH
(Upaya Mencari Format Dakwah Era Multikultural)
Multikultural adalah suatu sunnah Ilahi yang patut disyukuri karena membawa rahmah. Namun rahmah tersebut tidaklah didapat apabila multikultural tidak dipahami seperti itu.Karena yang ada adalah pemaksaan suatu kultur terhadap kultur lain yang dapat mengakibatkan konvrontasi dan perpecahan.
Fenomena kekinian yang relevan dengan hal tersebut adalah fenomena dakwah. Dakwah menjadi hal yang sensitif di era multikultural saat ini. Keberadaannya sangat rentan terhadap fenomena perpecahanan antar beragama serta juga intern agama. Dakwah dalam islam cenderung menjadi stimulan timbulnya misionaris dalam Kristen, begitu pula sebaliknya misionaris dalam kristen menjadi stimulan timbulnya dakwah. Dakwah dimaknai sebagai upaya untuk memperbanyak kuantitas orang islam yang meniscayakan adanya upaya untuk mengajak orang untuk beragama (berpindah agama) Islam. Demikian halnya misionaris dimaknai sebagai upaya untuk memperbanyak kuantitas umat Kristen yang juga meniscayakan upaya mengajak orang untuk beragama (berpindah agama) Kristen.
Hal demikian membuat dakwah menjadi permasalahan sosial tersendiri. Dakwah yang demikian dapat menimbulkan adanya tarik-menarik kepentingan yang berujung pada munculnya sentimen dan kebencian antar umat beragama. Ironis, dakwah yang seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan sosial justru menjadi permaslahan baru, yaitu permasalahan yang tidak gampang penyelesaiannya karena sudah mengarah pada ranah keyakinan dan ideologi. Peristiwa ambon (yang sebenarnya tidak perlu kita ingat) merupakan kenangan buruk umat beragama. Dan tidaklah akan selesai kalau seandainya dakwah masih bermainstream seperti di atas.
Dakwah yang demikian patutlah dipertanyakan. Dakwah demikiankah yang dimaksud dalam al-Qur’an dan hadist? Di sinilah pentingnya deediologi dakwah, yaitu melepaskan dakwah dari ideologi yang rentan akan perpecahan.
Mari kita pikirkan sambil merujuk pada dalil-dalil naqli (qur’an maupun hadits). Sehingga kita bisa menemukan makna dakwah yang dimaksud Qur’an dan Sunnah yang sebenarnya….
Posted in Uncategorized | No Comments »

May 2nd, 2007 by antaramanusia
AGAMA;
antara AJARAN dan BUDAYA

Saya
beranggapan bahwa setiap orang akan sepakat untuk mengatakan bahwa semakin
orang beragama, semakin ia memahami agamanya akan semakin baik tingkah lakunya,
semakin arif dan bijaksana dalam bersikap dan menghadapi sesuatu. Harapan dan
anggapan seperti itu tidak saja muncul dari mereka yang menginginkan kebaikan,
kebahagiaan dan cinta kasih antar sesama, karena kondisi seperti itulah yang
sebenarnya ingin diciptakan oleh agama.
Kebencian,
permusuhan, iri, dengki, hasud dan takabur yang telah melahirkan
konflik-konflik dan kekerasan tidak saja muncul dari orang yang tidak mempunyai
pemahaman keagamaan. Tidak jarang konflik-konflik itu muncul justru dari mereka
yang selama ini kita anggap shaleh, baik dan mempunyai paham keagamaan yang
kuat.
Adalah
suatu yang sangat naif kalau hanya karena perbedaan, lantas menyebabkan harus
saling curiga, bermusuhan sampai terjadi konflik dan saling menyakiti, padahal semuanya mengaku beragama hanya saja cara yang ditempuh
berbeda.
Seringkali
kita tidak pemah bisa membedakan antara agama sebagai ajaran transedental
(suci), dan Agama sehagai hasil pemahaman. Bahkan kita menganggap keduanya sebagai
satu yang padu, yang merupakan wahyu Tuhan, karenanya Ia adalah kehendak Tuhan
yang suci, kebenarannya mutlak tidak dapat diganggu gugat dan harus diikuti
sebagairnana adanya. Sesuatu yang sebenarnya lahir dari pikiran kita atau
sesuatu yang sebenamya terjadi secara kultural (budaya) bisa berubah menjadi ajaran
agama yang di anggap suci.
Pertama,
Agama sebagai ajaran merupakan Wahyu Tuhan yang suci, sebagai pengungkapan dari
yang Mutlak dengan sendirinya ia juga bersifat mutlak dan universal, melampaui
ruang (space) dan waktu (time). Ia adalah "kenyatan Tuhan" (realitas
ketuhanan) sehingga sangat personal (pribadi) dan tidak dapat dikomunikasikan,
Ia berada dalam wilayah nilai-nilai. Atau seperti yang sering dikatakan oleh
para teolog (ahli agama) bahwa; "agama dalam arti yang sebenar-benarnya
bukanlah untuk diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan
dihayati".
Sebaliknya
yang kedua, agama dalam wilayah pemahaman merupakan hasil interpretasi
(pemahaman/penafsiran) manusia atas Wahyu Tuhan, ia lahir dalam
subyektivitas pihak yang memahami. Sehingga
agama dalam wilayah pemahaman ini, sangatlah beragam, masing-masing orang
memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda sesuai dengan setting (latar
belakang) budaya, pengetahuan, sosial-ekonomi dan setiap situasi dan kondisi
yang melingkupinya tentunya akan melahirkan corak pemahaman yang berbeda.
Lahirnya berbagai madzhab (aliran) pemikiran, sesungguhnyalah merupakan hasil
dari proses dialektis atau hasil interaksi (persinggungan) antara wahyu Tuhan
(teks Al-Quran) dengan kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Sehingga agama
tidak bisa dipisahkan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam
ruang dan waktu. Agama terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya. Dan
karenanya akses pemahaman manusia terhadap realitas Transendental agama (nilai-nilai
normatifitas agama) tidak akan pernah sama persis seperti apa yang dikehendaki
oleh-Nya. Ia hanyalah batas dari manifestasi keberagamaan umat dalam menghayati
spiritualitas agama. Inilah realitas kemanusiaan, realitas yang akan selalu
berada dibawah realitas ke-Tuhan-an. Oleh karena itu sangatlah naif jika ada
manusia (umat) beragama yang mengklaim diri sebagai satu-satunya ‘pemangku’
atau ‘pemilik’ kebenaran transendental.
Moga membuat kita makin Arif untuk bisa memahami realitas
http://antaramanusia.blog.friendster.com/



Komentar